TALI CINTA ABADI
Secercah cahaya menghiasi
langit pagi ini. Redupnya cahaya bulan tergantikan terangnya cahaya sinar mentari.
Terdengar sayup tangisan bayi dari sebuah rumah di ujung desa ini. Ya, baru
saja terlahir seorang bayi cantik bernama Cahaya. “Aya” begitulah keluarga ini
memanggilnya. Keluarga yang tak pernah merasakan kemewahan akan harta, namun
mereka memiliki kekayaan akan hati.
3 bulan sudah terlewati
dengan adanya keluarga baru di tengah-tengah mereka. Namun, semakin hari
semakin tak mampu pula pendapatan mereka menyanggah kebutuhan perekonomiannya. Setiap
harinya, keluarga ini selalu memutar otak mencari cara bagaimana dan bagaimana
agar mendapatkan uang. Jangankan membeli susu formula untuk si bayi, untuk biaya
pengisian perut pun terasa amat berat bagi mereka.
Akhir-akhir ini kesehatan
Aya menurun, ia mulai sakit-sakitan. Bagaimana tidak, dengan lingkungan sekitar
rumahnya yang kumuh seperti itu pastilah kurang baik untuk kesehatan setiap orang
yang menempatinya.
Himpitan ekonomi, memikirkan
masalah keuangan, rasanya semua itu mencekik nafas mereka. “Pak, bagaimana,
kalau Aya kita berikan saja pada ibu Anjani?” ucap ibu marwah dengan ragu
kepada suaminya. Ya, ibu marwah adalah ibu dari Cahaya. “Apa? Apa ibu tidak
salah ucap??? Bapak tidak mau bu ! Bagaimana pun, bapak akan berusaha lebih
untuk mencari uang” ucap suaminya yang bernama Salim dengan mimik muka
terkejut. “Tapi pak, ibu tidak tega dan tidak mau Aya hidup di keluarga dengan
keadaan seperti ini. Lebih baik ibu berikan saja Aya pada ibu Anjani, biar
mereka yang asuh Aya. Hidup dan masa depan Aya akan lebih terjamin pak disana.
Lagi pula, ibu Ajani belum mempunyai anak sampai saat ini, dan seminggu yang lalu
Bu Anjani meminta Aya untuk di asuhnya” Tegas istri pak salim. “Tapi bu,..” ucapnya
terhenti.
Seketika suasana menjadi
hening.....
“Baik lah bu, besok kita
kerumah Bu Ajani untuk memberikan Aya pada bu Anjani” kata suaminya dengan
mimik muka yang sayu dan mata yang berembun. Dalam hatinya meraung tak mau
memberikan anaknya pada orang lain, namun di sisi lain hatinya berbisik, ini ia
lakukan semata-mata agar anaknya mendapatkan masa depan yang lebih baik di
kemudian hari.
Keesokan harinya, orang tua
Aya mendatangi kediaman bu Anjani untuk memberikan Aya padanya. Setelah
menyerahkan Aya pada keluarga bu Anjani, bu Anjani sangat senang dan
berterimakasih dan ia pun berjanji akan menjaga Cahaya atau Aya dengan sangat
baik.
Kemudian pak Salim dengan
istrinya pulang dengan keadaan hati yang hampa. Sesampainya di rumah, ke adaan
menjadi sunyi dan sepi, tak ada lagi suara tangisan Aya dan senyum manisnya.
Walaupu bagitu, mereka tetap senang karena masih ada anak sulungnya yang
menemani.
***
18 tahun sudah berlalu.
Keluarga ini pun telah melewati tahun demi tahun tanpa di temani oleh putrinya,
Aya. Sudah tak ada kabar tentang Aya selama 15 tahun terkhir ini. Ya, ketika Aya
berumur 3 tahun, keluarga bu Anjani meninggalkan desa kecil ini yang terdapat
di kota Sukabumi, mereka pindah ke Jakarta, dengan alasan ikut suaminya yang
sedang ada proyek d kota tersebut.
Tahun ini Aya memasuki
perguruan tinggi. Di perguruan tinggi ia menjalin hubungan dengan seorang kakak
angkatan kuliahnya. Putra, iya, itu adalah nama kekasihnya. Putra adalah
seorang anak yang pandai namun ia berasal dari keluarga yang kurang mampu.
Suatu hari Aya membawa
kekasihnya itu ke rumah. Namun, setelah sampai di sana orang tua Aya bertanya
pada Putra tentang dari mana asalnya dan bagaimana keluarganya. Setelah orang
tua Aya tau bahwa Putra berasal dari keluarga yang kurang mampu dan orang
tuanya hanya seorang penjual krupuk, raut wajah orang tua Aya berubah sinis
seketika. Tak berapa lama orang tua Aya beranjak pergi dari ruang tamu tersebut
dengan menarik tangan Aya.
“Aya ! Sini kamu ! Kamu itu
apa-apaan sih, bergaul bahkan pacaran dengan anak penjual krupuk seperti dia !
Selera kamu itu bagaimana si Aya ?!” oceh sayup sang mamah. “Mah, mamah ga
boleh ngomong kaya gitu. Dia itu anak baik-baik ko mah.” Balas Aya. “Iya, tapi
dia berasal dari keluarga yang serba kekurangan ! Nanti apa kata teman-teman
mamah, teman-teman kantor papah? Bisa bikin malu kita tahu tidak!” ucap mamah.
“Mamah !” tangis Aya sambil berlari menuju kamarnya.
“Maaf ya putra, lebih baik
sekarang kamu pulang saja. Lagi pula hari sudah semakin sore.” Pinta mamahnya
Aya. “Oh, iya. Baiklah tante, saya pulang dulu. Tapi Aya kemana ya tante?”
tanya Putra pada mamahnya Aya. “Oh, dia.. dia sedang di toilet.” Balas mamahnya
Aya singkat. “Ya sudah saya pulang dulu tante, salam buat Aya.” Kata Putra
sambil bergegas pulang meninggalkan rumah Aya.
Walaupun ke dua orang tua
Aya tidak menyetujui hubungan Aya dengan Putra, namun mereka tetap meneruskan
hubungan tersebut. “Maafin sikap mamah aku kemarin ya sayang.” Ucap Aya membuka pembicaraan. “Iya, tidak apa-apa
sayang, aku ngerti ko kenapa orang tua kamu bersikap seperti itu. Tapi, sikap
orang tua mu sepertinya ada benarnya juga.” Balas Putra. “Maksud kamu apa?”
tanya Aya. “Ya, lebih baik sampai disini saja hubungan kita. Aku tau diri ko,
kalau aku tak pantas untuk mu.” Jelas Putra. “ih sayang bicara apa sih?! Aku
tak mengerti ! Sudahlah, tak usah memikirkan masalah ini lagi, kita jalani saja
seperti air mengalir. Toh nanti lama-lama mereka akan menerima hubungan kita
juga.” tuntas Aya.
Hubungan mereka pun masih
tetap berlanjut walau tanpa restu dari ke dua orang tua Aya untuk saat ini.
Hingga suatu ketika, sewaktu Aya pulang dari kuliahnya, Aya tak sengaja
mendengar pembicaraan ke dua orang tuanya di ruang tengah. “Pah, gimana kalau
kita beritahu Aya yang sesungguhnya, kalau kita... kalau kita adalah bukan
orang tua kandungnya.” Tanya mamah angkat Aya. “Tapi mah, kalau dia pergi
meninggalkan rumah ini setelah dia tahu kalau dia bukan anak kita bagaimana?”
balas papahnya. “Tapi sudah saatnya Aya tahu tentang ini pah.” Jelas sang mamah.
Tiba-tiba...
“Apa?.... Apa yang mamah
katakan tadi?... Ay..Aya bukan anak mamah?! Aya hanya anak angkat kalian?! Lalu
siapa orang tua Aya yang sebenarnya pah? Mah? Siapa??!” Ucap Aya terjekut
sambil berjalan mendekati orang tua angkatnya dengan muka yang pucat dan air
mata yang berlinangan.
“Ay..Ayaa?!” ucap mamah dan
papah Aya secara bersamaan. “Kamu sudah pulang nak?” tanya mamahnya dengan
gugup. “Mah? Yang kalian biacarakan tadi, itu tidak benarkan mah?” tanya Aya
sambil menagis dan terduduk lemas. “ii..iiya Aya, sebenarnya... sebenarnya
kamu... kamu bukan anak kandung kami, kamu adalah anak angkat kami. Tapi,
walaupun begitu kami tetap sayang sama Aya seperti sayang pada anak kandung
mamah sendiri” tegasnya sambil menitihkan air mata. “Aya harus janji ya sama
mamah, Aya tidak boleh pergi meninggalkan rumah ini. Mamah takut kehilangan
Aya, mamah tak mau kalau itu terjadi.” Lanjut mamah angkat Aya. “Mah, makasih
banyak ya mah, sudah mau merawat Aya sampai Aya sebesar ini” balas Aya. “Lalu,
siapa orang tua Aya yang sebenarnya mah? Siapa?! Kenapa mereka tega membuang
Aya begitu saja?!” lanjut tanyanya sambil menangis. “ssstt, Aya tidak boleh
bicara seperti itu, orang tua Aya itu baik, dan mereka itu bukan membuang Aya,
tapi menitipkan Aya pada mamah.” Jelas ibu angkatnya.
Kemudian, ibu angkat Aya pun
menjelaskan semuanya. Dari mana Aya dan siapa orang tuanya yang sebenarnya.
Kemudian Aya memaksa ingin bertemu dengan orang tua kandungnya. Akhirnya ibu
angkat Aya mengizinkan Aya untuk bertemu dengan keluarga kandungnya dan ibu
angkat Aya pun memberikan alamat keluarga kandungnya.
Ke esokan harinya, Aya pun
bersiap-siap untuk melakukan perjalanan untuk bertemu dengan ibu kandungnya
yang berada di desa terpencil di kota Sukabumi. Kebetulan kuliah juga sedang
libur selama satu minggu kedepan.
Selama perjalanan, Aya
selalu menanyakan tentang dirinya kepada pak Ucok, seorang supir pribadi yang
sudah lama bekerja di keluarga tersebut selama hampir 20 tahun.
Setelah melakukan perjalanan
kurang lebih 6 jam, akhirnya Aya pun sampai di tempat yang ia tuju. Ketika
sampai di depan sebuah rumah, Aya diam sejenak dan memastikan alamat yang di
bawanya apakah benar atau tidak. Aya sempat diam, dia tidak bisa berkata
apapun. Dia melihat dari balik jendela mobilnya, terlihat rumah yang sangat
lusuh, kumuh dan tidak layak huni bagi dirinya. Dia sempat bertanya pada pak
Ucok supir pribadinya itu, “Pak, apa benar ini alamatnya?” tanya Aya lirih. “Iya
neng, benar ini alamatnya.” Jawab pak Ucok singkat.
Kemudian dengan segera Aya
pun keluar dari mobilnya dan melangkahkan kakinya menuju rumah kumuh tersebut.
Ia berjalan perlahan melangkahkan kakinya tapak demi tapak dengan tatapan penuh
kemirisan melihat keadaan rumah tersebut. ketika sampai di depan pintu rumah
tersebut, Aya mengetuk pintu rumah itu dengan perlahan. “assalamualikum,
permisi?” ucap Aya.
Tidak lama kemudian pintu
pun terbuka, dan munculah seorang wanita dengan wajah yang penuh akan kerutan.
Aya pun sempat diam mematung sejenak ketika melihat wanita itu, ia menatap mata
wanita itu dalam-dalam. Terlihat jelas bagaimana kerasnya hidup yang wanita itu
jalani. Seketika pandangan Aya pun kabur tertutup genangan air mata. Dan
perlahan langkah kaki Aya mendekat dan
mendekap wanita itu. Dan, “Ibu? ibuu...
ini Aya bu.. ini Cahaya. Ibu masih ingatkan bu sama Aya? ibu masih ingat kan?”
terang Aya dengan mata yang tak henti-hentinya mengeluarkan air yang begitu
derasnya. Ibu Aya pun masih tetap diam mematung, ia merasa antara percaya dan
tidak percaya bahwa yang ada di dekappannya saat ini adalah anaknya, Aya, yang
ia berikan pada orang lain 18 tahun yang lalu.
“Aya? ini benar kamu nak???”
tanya lirih ibu kandung Aya dengan menatap wajah Aya. Tangisan pun tak
terbendung lagi. Bagaikan sedang terjadi hujan air mata di rumah itu. “Iya bu,
ini Aya. Ibu masih ingat?” balas Aya. “Iya Aya, ibu masih ingat. Ibu sangat
merindukan mu nak. Ternyata kamu sudah tumbuh dewasa sekarang.” Jelas ibu
kandungnya. “Iya bu, ibu kenapa tega membuang Aya bu, kenapa?! Apa ibu tak
sayang dengan Aya?” tanya Aya. “Bukan begitu nak, sungguh bukan begitu. Keadaan
yang memaksa ibu untuk melakukan ini semua.
Ibu sayang, ibu sangat sayang sekali sama kamu nak. Ibu lakukan itu
karena, ya kamu lihat sendiri kan sayang, keadaan ibu kandung mu seperti ini.”
Terang ibu kandung Aya. “Ayah, ayah mana bu ? Ayah mana? Aya ingin sekali
melihat wajah ayah Aya bu, ayah mana?” tanya Aya lagi. “Bapak mu sudah tiada
nak, dia sudah tenang di alam sana. Dia meninggal 2 tahun yang lalu karena
penyakit paru-parunya.” Jelas ibu. “Apa bu? Bapak kandung Aya sudah meninggal
bu?” katanya dengan perasaan shock. “Aya belum pernah melihat wajah bapak bu, Aya
belum pernah mencium tangan Bapak, belum pernah memeluknya, belum pernah
membuatnya tersenyum, belum pernah...” “sudah nak sudah” kata ibu dengan
memotong ucapan Aya.
“Ibu, kenapa bu? Sepertinya
ada ribut-ribut di luar?” tanya anak sulungnya sembari keluar menuju depan
rumahnya. Seketika wajah Aya menjadi pucat pasi, terasa seperti petir sedang
menyambar hatinya saat itu, degup jantung terasa terhenti, nafasnya terasa
tercekik, tatapan mata yang penuh tanya ketika melihat anak yang menghampiri
ibu kandungnya itu adalah Putra. Ya, dia
adalah Putra kekasih nya. Hatinya berteriak penuh tanya mengapa dia berada di
sini. “sa..ssayang? Kenapa bisa ada di sini?” tanya Aya dengan suara bergetar.
“Ya kamu, kamu kenapa bisa kemari? Dari mana kamu tahu alamat rumah ku Aya?” tanya
balik Putra. “Ini? Ini rumah mu juga???” tanya aya selidik. “Rumah mu juga? Apa
maksudmu?” tanya Putra heran. “Ibu,
kalau boleh tau, Putra siapa ibu?” tanya nya penuh khawatir. “Dia anak ibu, kakak
kandung mu nak.” Jawab ibu kandung Aya.
Seketika pandangan Aya pun
berubah menjadi gelap, suara sekitar yang terdengar kian samar hingga tak lagi
terdengar. Ya, Aya pun langsung tak sadarkan diri ketika mendengar bahwa Putra
adalah kakak kandungnya. Beberapa menit kemudian Aya pun tersadar.
“Tidak! Ini tidak mungkin! Kamu
kakak kandung aku???” ucapnya seraya memandang Putra. “sayaang, ini tidak
mungkin kan?? Kamu bukan kakak kandung aku kan sayaaang???” lanjutnya. “Sebenarnya
ada apa ini? Apa kalian sudah saling kenal?” tanya ibu. “Iya bu, dia adalah
wanita yang pernah ku ceritakan pada ibu.” Jelas Putra. “Jadi, maksud mu dia itu
kekasih mu?” tanya ibu. “Tidak nak, ini tidak boleh dibiarkan! Kalian harus akhiri hubungan kalian sekarang
juga, karena kalian adalah saudara sekandung nak.” Sambung ibu. “Tapi bu,”
sanggah Putra. “Tidak ada tapi-tapian. Sudah jelas hubungan kalian itu adalah
hubungan terlarang !” tegas ibu.
***
Awan yang berkabung semakin
menambah suasana gundah nan lara. Derasnya hujan di luar terkalahkan oleh derasnya
air yang bermuara di mata Cahaya. Gelegar petir mengiringi debar jantung yang kian
berguncang seraya jiwa pun semakin termangu.
“Nak, ini makan dulu” suara
ibu yang memecah lamunan Aya. “Aku tidak lapar bu” balas Aya. “Kenapa? Apa
makanan ini tidak cocok untuk mu?” tanya ibu. “Bukan bu, sungguh bukan itu. Aya
...” “Sudah nak, lupakan kakak mu sebagai kekasih mu, kamu ini anak ibu yang
cantik dan manis. Kamu akan mendapat pengganti yang lebih baik lagi dari
kakakmu.” Terang ibu dangan memutus ucapan Aya sebelumya.
Hujan belum reda, masih
mengguyur perkampungan di desa kota Sukabumi itu. Lembayung sore senja yang
sendu itu pun tak terlihat, tertutup awan mendung yang menggantung. Entah
bagaimana keadaan jiwa Aya yang sesungguhnya. Ia mencari pak Ucok supirnya,
namun dia diam teringat bahwa pak Ucok hanya mengantarnya saja dan akan
menjemputnya minggu depan nanti.
Hujan masih belum reda,
tiba-tiba Aya yang sedari tadi duduk termangu di depan rumah, lari keluar
meninggalkan rumah tersebut. Dalam ke adaan hati yang gundah, ia memutuskan
untuk pulang walau tanpa pak Ucok supirnya. Aya pun terus berlari dengan
mencari angkutan umum yang mungkin ia bisa temui. Guyuran hujan yang terus
membasahi raganya tak ia perdulikan.
***
“Ibu... Ibu..., apa ibu tahu
dimana Aya? Sudah kucari di ruang depan, di kamar tak juga ku temukan” tanya
Putra pada ibunya. “Yang benar nak, tadi dia ada di depan.” Jawab ibu. “Tidak
ada bu, Putra sudah mencarinya, tapi tidak ada disana.” Terang putra. “Apa dia
pergi ke rumahnya meninggalkan rumah ini tanpa pamit?” lanjut Putra. “Ibu tak
tahu nak, coba kamu cari keluar barang kali dia masih dekat-dekat sini.”
Perintah ibunya resah. “Baiklah bu, akan Putra cari.”
***
Mentari pagi semakin
beranjak tinggi, cerahnya awanpun mampu mendampingi sang mentari. Namun tidak
begitu dengan angin yang berhembus, terasa mengilu tak nyaman di kalbu.
“Ya Tuhan, Aya! Nak bangun
nak, bangun ! Pah, papah.. Aya pingsan pah” teriak ibu angkat Aya ketika
menemukan anaknya tak sadarkan diri di depan pintu rumahnya. Segera Aya di bawa
masuk ke kamarnya dengan di gendong oleh papahnya. Kemudian mamahnya langsung
memanngil dokter untuk memeriksa keadaan Aya.
Setelah dokter datang dan
memeriksa keadaan Aya, dokter mengatakan bahwa Aya baik-baik saja, hanya saja
dia kelelahan dan terlalu lama di bawah rintikan hujan. Beberapa jam kemudian
Aya pun sadarkan diri. “Aya, kamu sudah bangun sayang?” sambut sang mamah
ketika melihat Aya telah sadarkan diri. “Aya, Cahaya, kamu kenapa nak? Kenapa
kamu diam saja? Kenapa kamu tiba-tiba menangis? Ceritakan sama mamah nak, apa
yang terjadi di sana?” ucap Mamah sambil memeluk Aya. Namun tak ada respon yang
di berikan lebih oleh Aya, dia hanya diam dan sungai kesenduan yang terus
mengalir di pipinya.
“Mah, Putra mah. Ternyata
Putra adalah kakak kandung Aya. Tapi Aya sangat mencitai dan menyayanginya
lebih dari seorang adik yang mencintai kakaknya. Aya tidak ingin kehilangan
dia, mah.” Tutur Aya dengan suara yang lirih terasa perih. “Jadi Putra adalah
kakak kandung mu?” tanya Mamah dengan nada terkejut. Aya hanya menjawab dengan
anggukan kepala. “Ya sudah, dari awal juga Mamah sudah katakan lepaskan dia,
hingga akhirnya kamu harus melepaskannya juga kan.” Lanjut mamah. “Tidak mah,
Aya tidak akan melepaskan Putra, Putra harus tetap menjadi kekasih Aya dan akan
melanjutkan hubungan ini hingga batas akhir waktu nanti.” Ucap Aya dengan nada
memaksa. “Aya..?” sambung mamah dengan sedikit tidak percaya.
***
Sudah beberapa hari ini Putra
berfikir keras dan merangkai beberapa kata yang baik untuk di ucapkan pada Aya
untuk mengakhiri hubungan yang tak semestinya terjalin itu. Hingga akhirnya,
sore itu “Aya, tunggu Aya.” Seru Putra pada Aya. “Aya, kita harus bicara.”
Lanjutnya. “Iya, aku sudah tau. Kau
hanya ingin bicara dan memberitahu ku jika hubungan kita akan tetap
berlanjutkan sampai kita mati nanti?” kata Aya. “Bukan Ya, bukan itu. Aya, aku
ingin kau mengerti. Kita akhiri hubungan kita sebagai sepasang kekasih, karena
memang itu yang seharusnya kita lakukan. Aku minta maaf Aya, tapi aku akan
menjadi kakak yang sangat menyayangi mu, tapi itu hanya rasa sayang kakak
terhadap adiknya, tidak lebih.” Terang Putra, kakaknya. “Sayang...” ucap Aya
lirih dengan meneteskan percik demi percik air yang bermuara pada matanya itu.
“Maaf, aku harus pergi, masih ada urusan.”
Tertegun, terpaku dan
termangu. Hembusan angin senja itu menelusup sukma yang layu. Deru angin yang
semakin mendayu sendu mengiri langkah gontai sang pemilik hati yang sedang
melayu itu. Terasa seperti badai yang menampar jiwa. Aya kini lebih banyak diam
dan mengurung diri di kamar, raut wajahnya telah meredup tak secerah mentari
pagi yang berseri.
***
Penyusutan pemasukan sedang
malanda dunia ekonomi, saham-saham yang ada di kota-kota lain pun saling berjatuhan.
Tak ketinggalan pula dengan perusahaan yang dimiliki oleh orang tua angkat Aya
beserta sahamnya. “Apa pah?! Saham kita semuanya turun? Kita bangkrut pah?
Perusahaan kita bangkrut?” teriak shock sang mamah saat mendengar kebangkrutan
perusahaan. “Iya mah, dan besok rumah ini beserta fasilitasnya akan di sita
oleh bank untuk menutupi semua kerugian itu.” Jelas suaminya lesu. “Ya Tuhan,
bagaimana ini pah?” Balas mamah melemah dan terduduk di lantai.
Esok harinya, mereka pun
segera berkemas dan pindah ke kontrakkan yang tak begitu besar dan sangat sederhana. “Aya, maafkan kami ya
nak. Kita hanya bisa tinggal di kontrakkan kecil ini.” Terang sang mamah. Namun
Aya hanya diam saja, diam membisu seribu bahasa. Jiwanya terasa terkoyak,
badai-badai kehidupan sedang menerpanya.
***
“Len, aku boleh pinjam uang
mu untuk bayar semester ?” tanya Aya pada temannya, Leni. “hmm.. bisa, tapi aku
hanya bisa meminjamkan separuhnya saja, karena memang adanya segitu.” Jelas
Leni. “Okelah, tak apa Len” balas Aya, yang terus berbincang seraya berjalan
menuju perpustakaan yang ada di kampusnya itu. “Ya, Aya, lihat deh. Itu
bukannya Putra kan? Oh iya, dia bersama Bella pacar barunya ya?” Kata Leni
seraya menunjuk Putra, yang semakin berjalan mendekat kearah perpustakaan. “Kak
Putra.” Seru Aya. Putra pun langsung melihat kearah Aya seraya melepaskan
genggaman tangan mereka berdua. “Eh Aya, sudah lama ya kita tak bertemu. Oh
iya, kebetulan ini ada undangan pertunangan aku denga Bella, nanti kamu datang
ya adikku.” sapa Putra. Seketika itupun Aya berlari pergi meninggalkan mereka dengan
air yang mencair dari matanya. Jiwanya terasa terkena halilintar disiang
bolong.
Seperti biasa sesampainya di
rumah Aya langsung memasuki kamarnya. Dari siang hingga malam Aya tak kunjung
keluar dari kamarnya. Sementara di luar telah terjadi cekcok antara mamah
dengan papahnya. Tiba-tiba terdengar teriakan dari kamar Aya, seperti suara
teriakan hati yang baru saja bisa meluap. “Ya, Aya buka pintunya!” panggil
mamah. Namun Aya terus saja berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Sementara
papah terus mencoba membuka paksa pintu kamar Aya hingga akhirnya terbuka juga.
“Aya, kamu ini apa-apaan sih? Teriak-teriak tidak jelas seperti orang kesurupan
saja.” Oceh mamahnya. “Kalian ! Suara tengkar kalian yang membuat kepala ku
mendidih !” sanggah Aya. “Oh jadi sekarang kamu berani ya Aya?! Hah? Kamu itu
harusnya cari kerja, untuk menambah pemasukan! Bukan selalu uring-uringan di
kamar seperti ini!” ucap mamah dengan
nada emosi seraya mendekati Aya. “Kerjaanmu hanya menangis dan mengurung diri
saja di kamar! Kuliah mu juga jadi berantakan, kamu mau jadi apa Aya? Apa hanya
ingin menjadi benalu saja?!” cercah mamahnya dengan suara yang lantang dan
mencengkeram erat kedua bahu Aya.
Tiba-tiba dengan cepat Aya
mengambil gunting dari atas meja yang ada
di dekatnya. Dan tanpa sadar, Aya mengacungkan gunting tersebut tepat di
depan mata mamahnya. “Aya ! Apa-apaan kamu ini Aya !” teriak mamahnya. “Singkirkan
gunting itu, singkirkan !” ucap papahnya yang mendekat dan menahan tangan Aya
yang sedang memegang gunting itu. Fikiran Aya yang sedang semerawut, keadaan
hati yang kalut, serta emosi jiwa yang tak kalah terpaut. Merasa tangannya tak
leluasa untuk menumpahkan emosinya, Aya pun kuat-kuat menghempaskan tangan yang
menahan tangannya itu. Namun, ketika Aya mencoba menghempaskan tangan papahnya
itu, tanpa di duga ternyata gunting yang sedang di pegang erat tangan Aya terhempas
dan menusuk leher sang papah.
“Ayaaa !!!” teriak histeris
mamah. “Apa yang telah kamu lakukan Aya?! Kamu pembunuh !” lanjut cela sang
mamah yang kemudian melemas dan tak sadarkan diri. Tangan Aya yang sedari tadi
memegangi gunting tersebut pun telah berlumuran darah. Aya menjauh menuju sudut
ruangan seraya mencengkeram kepalanya, “Tidak ! Ini tidak mungkin ! Aku tidak
membunuh papah. Aku bukan pembunuh. Bukan ! Bukan !!!”
Tetangga sekitar yang
mendengar kegaduhan pun mendatangi rumah kontrakkan tersebut, untuk melihat apa
yang sebenarnya terjadi. Namun, kedatangan para tetangga pun terlambat, sudah
tidak bisa mencegah kejadian yang mengerikan tadi. Ketua keamanan setempat yang
mengetahui kejadian tersebut langsung melapor pada pihak yang berwajib. Tak
lama kemudian pihak kepolisian pun datang ketempat kejadian perkara itu, dan
membawa Aya ke kantor polisi untuk di periksa. Sedangkan kedua orang tua
angkatnya di larikan ke rumah sakit.
Di kantor polisi Aya hanya
bisa diam dan bermuram, tak jarang ia berteriak-teriak sambil menangis tak
karuan. Jiwa Aya benar-benar terguncang hebat. Begitu banyak tekanan kehidupan dari
sana sini yang menghampirinya. Akhirnya pihak kepolisan pun mengirim Aya ke
Rumah Sakit Jiwa yang ada di kota Bogor untuk pemulihan jiwa Aya yang sudah tak
seimbang itu. Sedangkan nyawa angkat papah Aya sudah tidak dapat tertolong
lagi, ia menghembuskan nafas terakhirnya ketika dalam perjalanan menuju rumah
sakit terdekat.
***
Putra, sang kakak pun
mengetahui berita yang mengejutkan itu. Kemudian Putra bersama ibu kandung Aya
pun datang menemui Aya ke kantor polisi, namun disana pihak kepolisian
mengatakan bahwa Aya sedang dalam perawatan di Rumah Sakit Jiwa Bogor.
Mengetahui hal itu, Putra dan ibunya pun bergegas menuju rumah sakit tersebut.
Sesampainya di sana, Putra dan ibunya di antar oleh petugas rumah sakit untuk
menemui Cahaya. Disana, di sudut sana Putra dan ibunya melihat sesosok gadis
manis yang terkena beban mental kehidupan yang cukup berat. Mereka pun
menghampiri Aya, dan ibu kandungnya pun tak kuasa menahan haru kesedihan dan
memeluk erat tubuh Aya. “Aya, kenapa kamu nak? Apa yang terjadi pada dirimu
saat ini.” Tutur ibu kandungnya sambil menyeka air mata yang membasahi wajah
Aya. “Nak, sabar ya nak. Kamu harus kuat ya manis, ibu selalu ada di belakangmu.”
ucap sang ibu memelas dengan menitihkan embun dari pelupuk matanya.
“Aya, adik ku.” Sapa
Putra. Aya pun memandang Putra dan
menatap dalam Putra. “Kamu ! sedang apa kamu di sini? lebih baik kamu pergi,
silahkan pergi dengan kekasih mu itu !” usir Aya. “Aya, sudah Aya. Jangan kau
perlakukan aku seperti ini terus, jangan kau pandangi aku dengan tatapan
kebencian. Aya..” bujuk Putra dengan menggenggam erat tangan Aya. “Aya, kau
tau? Aku sangat menyayangimu Aya, sungguh. Aku juga sangat mencitaimu.” Terang
Putra dengan menatap dalam Aya, begitu pun sebaliknya dengan Aya. Adu padang
yang menggetarkan jiwa, memberi setitik obat kesegaran jiwa sang pesakitan.
“Tapi Aya, sayang dan cinta ini hanya sebatas rasa sayang kakak kepada sang
adik, tak lebih. Dan tak bisa lebih. Kita harus bisa memahami dan mengerti,
mana yang seharusnya dan mana yang tak seharusnya. Jadilah adik yang
membanggakan, Aya. Biar cinta kita kan selalu abadi dan terikat kuat karena
adanya tali pertalian saudara di antara kita.” Tungkas Putra seraya memeluk
Cahaya.
#created by. Yopi Nuraini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar