Daftar Blog Saya

Sabtu, 06 April 2013

Wait Me...


Langit luas terbentang begitu megahnya. Mentari mampu mendampingi sang langit dengan begitu gagahnya memacarkan sinarnya sampai kepenjuru dunia. Panasnya pun terasa hingga ke hati, sukses menyulut emosi siang ini.


“Hei Bara! Gak usah ikut campur lagi urasan aku ya. Emangnya kamu ini siapa?! kamu siapa aku?? Hah???” solot ku. “Tapi Nay informasi ini benar adanya, kalau status Dika sekarang sudah jadi suami orang.” Jelas Bara. “Terus apa untung kamu ngasih tau semua informasi ini ke aku?” balas ku dengan nada tinggi. “Gak ada untungnya buat aku, tapi buat kamu Nay! Aku peduli sama kamu ..” ucap Bara. “Peduli kata kamu?? Kenapa kamu peduli sama aku? hah??” jawab ku ketus seraya pergi meniggalkan Bara yang masih mematung diam tanpa kata. “Gak usah repot-repot! Urusin aja hidup kamu sendiri.” Lanjut ku.


Bara Gionahankam. Rasanya penat sekali telingaku mendengar nama itu. Pria yang suka ikut campur urusan orang. Gak tau apa tujuannya, siang ini dia berhasil membuatku kesal, emosiku sampai memuncah hingga ke ubun-ubun kepala ku. Bayangkan, bagaimana aku tak emosi, tak ada badai, tak ada topan, angin semilir pun hembusnya tak terasa, tiba-tiba dia seperti kilat yang menyambar dengan memberi informasi padaku tentang Dika Jonesia, pacarku. Pake ngatain kalau Dika saat ini sudah jadi suami orang. Gak mungkin banget !!


***


“Dika... angkat dong telepon kamu !!! Udah 5 hari ini kamu diemin aku tanpa kabar !” gerutu ku.

(Dika itu sudah jadi suami orang....!) tiba-tiba terlintas difikranku, ucapan Bara kemarin. “Haaah gak mungkin gak mungkin ini gak mungkin. Apa buktinya coba si Bara bilang kaya gitu. Aah !!” ocehku dalam hati.


***


“Kayaknya kamu harus pertimbangin ucapan Bara deh Nay, mungkin aja dia benar?” saran Tyas sahabat ku. Aku hanya menatap tajam Tyas ketika dia sarankan seperti itu. “Lagian Dika udah gak masuk kuliah sekitar satu minggu ini kan Nay?” lanjut Tyas.


Aku ceritakan semua masalahku hari ini pada Tyas, dan dia memberikan saran seperti itu??? Ya Tuhan... sebenaranya ada persekongkolan apa di dalam semua ini !! celoteh hatiku. “Nggak! Aku gak mau percaya sama omonganya si B A R A.” kataku. “Ya itu sih terserah kamu Nay. Hmm.. gimana kalau kita cari tau saja ke rumahnya???” lanjut Tyas. “Tapi kan jauh yas, rumah dia di Semarang.” Jelas ku. “Yaelah cuma Bogor – Semarang ini .” ucap Tyas dengan entengnya. “CUMA kamu bilang??? Oh God...” keluh ku. “Gimana kalo kita ajak Bara sekalian?” lanjut Tyas mengagetkan ku. “Nggak !!!” ku tolak mentah-mentah saran dia. “Naya Dianara... kita ajak dia biar ada yang gantian menyetir. Gak mungkinkan aku yang menyetir sendirian dengan jarak sejauh itu?” alasan Tyas. “Ya tapi kan, jangan Bara juga kali !” ocehku. “Udah pokoknya ikuti apa kataku.” Tambah Tyas. “haaah apa-apa an ini...” gerutuku.


***


Esok paginya kita bertiga, aku Tyas dan BARA (!) meluncur ke kota Semarang, untuk menemui dan memastikan kabar miring tentang Dika itu benar atau tidak.  Aku dan Tyas duduk di depan, dan Bara ku biarkan duduk sendiri di belakang. Tidak ada pembicaraan yang begitu mengasyikan di dalam mobil, aku hanya bicara seperlunya saja. Selama perjalanan hanya dipenuhi celotehan-celotehan dua mulut itu. Haah,, entah apa yang mereka bicarakan.


“Bar, kamu ya gantian bawa mobil abis kita istirahat nanti” seru Tyas. “oh, oke-oke” jawab Bara singkat.


***


“Tu perut apa gentong, emang bisa apa nampung makanan segitu banyaknya? Pesan makanan sebanyak itu. Ckckk” oceh ku pada Bara. “Biarin, lagian aku gak minta kamu buat bayarin semua ini kan?” jawabnya sambil tersenyum. Ku letakan makanan ku di depan mejanya dan duduk dengan memalingkan mukaku darinya. “Hey gak sopan..” seru Bara. “Masbuloh??” jawabku asal. “Udah cepet abisin makanannya terus kita lanjut lagi perjalanannya.” Lanjutku. “Nanti dulu dong Nay, baru juga 10 menit disini. Gak cape apa?” gerutu Tyas.


Waktu masih menunjukan pukul 6 sore. Kali ini Bara yang membawa mobil untuk melanjutkan perjalan sampai ke Semarang. Dia membukakan pintu mobil bagian depan untukku, tapi aku acuh padanya dan membuka pintu mobil bagian lain. Aku lebih memilih duduk di belakang mereka berdua ketimbang harus bersebelahan dengan Bara, biar Tyas yang duduk di depan. “Aku mau tiduran di kursi belakang.” Kataku singkat.


Dipikir-pikir kenapa juga ya aku harus sesebal ini dengan si Bara, padahal dia tak jahat atau yang semacamnya itu. Dia juga baik, tapi... “Haaah dia sudah menjudge pacarku sebagai suami orang! Apa-apaan  ini. Aku tak terima.” Tiba-tiba fikaran jengkel ku melintas.


Akhirnnya aku pun tertidur pulas. Hingga suara klakson container yang membuyarkan mimpiku. Aku terperejat dan terbangun. Ketika ku lihat jam, ternyata masih jam 3 pagi. Ku lihat sekelilingku mereka semua tertidur pulas. Mereka memilih menepi di pinggir jalan untuk tidur dan beristirahat. Maklum, Bogor-Semarang mungkin akan di tempuh dalam 2 hari, mungkin juga 1 minggu?? , jika perjalanannya sesantai ini.

***


“Hey Nay, benar tidak ini alamat rumahnya?” tanya Tyas. “Ya menurut buku catatan alamat ini, ya benar ini 

rumahnya Dika Yas.” Jawabku.


Baiklah ku coba turun dari mobil untuk memastikannya. Tapi sebelum itu ku rapihkan terlebih dahulu penampilan ku, poles dikit sana sini wajah dan bibirku lalu baru aku bisa beranjak dari mobil ini untuk menemui Dika.


Beberapa kali ku coba menekan bel rumahnya dan mengetuk pintu rumahnya, sepertinya tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah ini. Hingga ku coba tekan lagi bel rumahnya dan akhirnya ada yang membukakan pintunya juga. “Nn...Naya???” sapa Dika kaget. Akupun langsung memeluknya, karena rasa rindu yang sudah menggerogoti hati. Tapi dia melepaskan pelukanku ! “haaah apa maksudnya??!” omel ku dalam hati. “Kamu gak suk....” belum selesai kata-kata ku, tiba-tiba ada perempuan anggun semampai berparas cantik datang dari dalam rumahnya, seraya menghampiri Dika dengan begitu mesranya. “Siapa sayang?” tanya perempuan itu dengan lembut. 


Dari luar mataku menyelidik ke penjuru ruangan di dalam rumah itu, dan “Aaah, itu foto Dika dan Istrinya mengenakan pakaian pengantin” batinku. Lemas sudah tubuh ini. “Nggak tau sayang, aku juga gak kenal dia. Dia tadi menanyakan alamat, alamat siapa tadi mba? Pak Dibyo ya?” jawab Dika pada istrinya itu dengan  bersandiwara bertanya pada ku dan berpura-pura tak mengenali aku. Ooh, rasanya lutut ini bergetar dan tak mampu lagi menopang tubuh ku. Tiba-tiba Bara berlari dan memegangi ku. “Maaf, sepertinya kita sudah salah orang.” Seru Bara pada sepasang pengantin baru itu.


***


Mungkin keadaan hatiku sudah pora-poranda seperti terkena dampak gempa berkekuatan 10 skala richter. 

Yang menghancurkan kokohnya hati ini hingga menjadi puing-puing yang tak berguna. Rasanya hujan di area mataku cukup deras, dan sepertinya enggan untuk berhenti. Aku masih diam membisu, tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Tak ku hiraukan mereka, entah kedua mulut itu berceloteh motivasi apa untuk diriku.


Untung di kota Semarang ini ada taman yang begitu rindang dan sepi. Aku pun duduk di tepi air mancur di temani oleh dua kawanku itu. Hujan di area mataku masih belum berhenti dan aku masih mematung diri. Tiba-tiba Bara yang di sebalah kananku memagang kepalaku, dan di dekatkan pada bahunya. Semua mulut terkunci, tak ada celoteh-celoteh dari mulutku atau mulut mereka.


“Harusnya aku percaya, harusnya aku tak mengabaikan kata-katamu Ra” ucapku memecah keheningan. “Aku terlalu bodoh, aku terlau keras kepala, dan aku...” “Sudah, yang penting kau sudah tau yang sebenarnya.” Ucap Bara seraya memotong perkataanku. Tangannya yang selalu setia menyeka air mata yang terus membanijiri pipi ku. “Bara..”  “Ya?” “Aku minta maaf, karena selama ini aku bersikap jahat padamu.” Kataku. “Iya ngga usah kamu pikirin, tapi kamu ngga jahat ko Nay..” balasnya. “Makasih Ra.” Jawabku singkat.


***


Setelah kejadian itu, seharusnya aku masuk dan menjadi penghuni Rumah Sakit Jiwa yang ada di Bogor karena konsleting hati yang tak sinkron dengan otak setelah kejadian itu. Tapi untungnya ada mereka, Bara dan Tyas yang selalu menghibur ku.


“Nay, Bara Nay..!!” teriak Tyas histeris pada ku. “Apa sih Yas? Bara kenapa?” tanya ku setengah kaget dan setengah panik. “Bara..eem.. Bara..” jawab Tyas setengah-setengah hingga membuatku tambah  panik dan penasaran. “Bara kenapa???”  “Bara akan mentraktir kita setelah jam pulang kampus !!! hahahaa” gelak tawanya. “Ciyeee, gak usah sepanik itu kali Naya Danira.. hahaha kayanya ada sesuatu nih ?!” lanjut Tyas. “Jangan ngaco!!” Saut ku seraya pergi. “Yeee.. ngambek. Hahaha” seru Tyas.

Iya juga sih, tadi kenapa ekspresi ku berlebihan gitu ya? haaah.. gerutuku dalam hati.


***


Setelah jam kampus selesai aku langsung menuju cafetaria di pinggir danau dekat kampus, tempat kami bertiga biasa nongkrong. Ku kira aku yang terlambat, ternyata mereka berdua juga belum datang. “Tunggu dulu, gimana kalau aku ternya cuma di kerjain doang sama mereka??? Awas yaa kalau terjadi seperti apa yang ku fikirkan ini” omel ku dalam hati. “Hey Nay !” sapa Bara sembari tersenyum mendekat. “Loh, Tyas mana?” tanya ku heran. “ku fikir dia dengan mu??” jawabnya. Kemana tuh anak satu itu, keluyuran mulu.

“Kamu mau pesan apa?” Tanya Bara. “Nanti dulu deh, tunggu Tyas.” Jawabku. “Emm.. sebenarnya Tyas gak aku ajak.” Balasnya. “Loh? Kenapa?? Ko gitu???” tanya ku penuh selidik. “Nay,” seru Bara lembut sembari menggenggam erat jemari ku. Tentu saja aku kaget tak di buat-buat, rasanya seperti bergetar hati ini, “Apa yang dia lakukan ya Tuhan..” pekik ku dalam hati.


“Nay.. aku,,, hati aku jatuh Nay.. hati aku jatuh karena mu. Aku mencintamu Nay.” Ucap Bara sembari menatapku dalam. Ooh entah mengapa hati ini rasanya melayang hingga menyentuh atap langit, melihat tatapannya yang hangat membuat hati ini berguncang, seperti ada gempa di hatiku. Aku masih diam seribu bahasa, entah apa yang harus ku katakan. “Nay, kamu marah? Maaf bukannya aku lancang atau apa tapi a...” “Bara, kamu tau kan gimana keadaan hatiku saat ini, yang masih belum sembuh benar karena terluka oleh permainan cinta. Dan sekarang aku harus masuk dan terjerumus lagi dengan apa yang namanya cinta? Dan aku, bersama hati ku ini yang belum sembuh benar akan terluka kembali? Bisa-bisa babak belur hati ku, Bara.” Jelas ku sambil perlahan melepaskan genggaman tangan Bara.


“Karena itu Nay, aku tak mau kau larut dalam luka mu. Sementara aku, harus melihat orang yang aku cintai terus-terusan bersanding dengan luka, hati aku ikut sakit Naya. Apa kau tak tau itu?? Ha? Aku akan menyembuhkan lukamu, mengobati lukamu, mengembalikan wajah ayu mu, bukan mempertahankan wajah layu dan sayu seperti saat ini.” Terang Bara seolah ingin meyakinkanku.


Aku diam, dan perlahan mengacungkan jari kelingking ku di hadapan wajahnya. Sembari berucap “Apa kau janji akan melakukan kata-kata yang kau ucapkan tadi?” Bara pun terkejut dan dengan senang hati dia ikut mengacugkan jari kelingkingnya seraya berkata “Aku janji, Nay” Jemari kelingking kami pun saling mengikat, dan aku pun tersenyum.


***


Kini hari-hari ku menjadi penuh warna. Merasa sang mentari selalu tersenyum ceria dengan teriknya yang selalu menyapa. Dia memang baik, sangat baik. Tak hanya sebulan atau dua bulan pertama dia bersikap manis dan romantis padaku, sampai detik ini pun walau hubungan kita sudah berjalan sekitar 8 bulan dia masih bersikap sama seperti dulu. Jarang sekali yang namanya bertengkar. Aku bersyukur pada Tuhan, aku bisa kenal dan bisa selalu bersama Bara Gionahankam.


***


Sore itu, setelah ia beratih seni bela diri dia mengajakku ke taman. Seperti biasa menjamu senja dengan candatawa kita. Tapi.... “Sayang? Kamu sakit???” tanya ku khawatir. Siapa yang tidak khawatir kalau melihat kekasih hatinya tiba-tiba terlaihat pucat pasi seperti mayat yang bernafas. “Ngga ko.. aku baik-baik saja” jawabnya senyum tapi lemas. “Baik-baik gimana? Muka kamu pucat, keringet dingin gini lagi.” Omelku. “Ya sudah kita pulang saja, biar aku yang membawa mobil sampai rumah kamu, nanti aku pulang pakai taxi aja ngga papa.” Lanjut ku. “Baru juga sampai di taman ini, baru duduk sebentar, masa udah mau balik lagi? Aku ngga kenapa-napa sayang.. udah kita nikmati senja sore ini, sampai mentari tenggelam bersama guratan lembayung senja itu..” rayunya. “Udah deh gak usah sok puitis gitu, kalau liat tampilan kamu yang lemas kaya gini, rayuan mu itu jadi tak romantis.” Jawabku apa adanya.


Akhirnya ku paksa Bara untuk pulang, karena aku tak tega melihat kondisinya yang lemas seperti itu. Tak jarang dia tiba-tiba lemas seperti itu jika terlalu banyak aktifitas yang menyita waktu nya. Ketika ku tanya dia punya penyakit apa, dia bilang dia tak punya penyakit apapun, dia bilang cuma kecapean dan kurang vitamin. Tak jarang ku paksa dia untuk makan buah-buahan, karena kalau tidak di paksa dia tidak akan memakannya.


***


“Tampang mu lebih baikan sekarang, di banding kemarin seperti mayat yang bernafas.” Gurau ku ketika bertemu Bara di kampus. Dia hanya tertawa dan menggandeng tangan ku untuk mengantar ku ke kelas, karena dia tau jam pertamaku akan segera di mulai.

Ya kita memang beda fakultas, aku fakultas ekonomi dan dia fakultas hukum. “Udah masuk sana, belajar yang benar.” Ujarnya tersenyum seraya mengecup keningku. “Daaah” pamitku. “Daaah, biasa pulang aku antar. Jangan kemana-mana” katanya sambil seraya pergi. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala saja.


***


Jam kuliah ku sudah selesay, tapi dia masih ada satu jam mata kuliah lagi. Seperti biasa ku tunggu dia di cafetaria kampus dekat danau bersama sahabatku Tyas. Tak lupa ku ceritakan padanya tentang kejadian kemarin, kondisi Bara yang mendadak drop seperti itu. Tak jarang obrolan aku dan Tyas di selingi senda gurau. Dia memang sahabatku yang setia.


“Hey, pulang sekarang?” tanya Bara yang tiba-tiba muncul dari belakang ku itu. “Ya sudah ayo. Tapi kamu gak mau makan sesuatu dulu nih?” tanya ku. “Ngga, masih kenyang” ujarnya. “kita pulang dulu ya Tyas..” tambahnya. Aku pun pamit pulang dan melambaikan tangan pada Tyas.


“Mau kemana dulu?” tanya dia ketika baru memasuki mobil. “Langsung pulang aja deh, rasanya hari ini aku lelah sekali.” Keluhku. Dia melihatku dan menatap dalam. “Baiklah” ucapnya sambil tersenyum. Aah rasanya tatapannya itu hangat sekali, lagi-lagi mengguncangkan hati ku seperti terkena gempa, untung tak sampai terjadi tsunami.


Jalanan Bogor sore ini lumayan macet, tiba-tiba hujan lagi. Terliahat dari depan kaca mobil, kilat petir yang membelah langit sore ini. Awan mendung yang menggantung pun ikut menghiasi kilatan petir itu.

Sesekali kulihat wajah Bara, pandangannya masih menatap ke depan, menatap jalanan yang begitu semrawut rasanya. Tapi, oh tiba-tiba ada sungai merah yang mengalir dari hidung Bara, ya Tuhan. Tentu saja aku terkejut bukan main, langsung ku cari tissue di dalam tas ku. “Kenapa sayang? Cari apa? Gak usah tergesa-gesa gitu kali cari sesuatunya, apa ada yang tertinggal??” celoteh Bara.


Hah, dasar. Tak tau apa hidungnya mengluarkan darah seperti itu. Apa dia tak merasakannya? Kemana lagi larinya tissue ku dari tas ini. Nah ini dia. “Sayang, liat kesini. Kamu sakit? Ha? Ko gak bilang-bilang sih.. kau tak merasakan darah ini keluar dari hidung mu??” omel ku pada Bara sambil mengusap perlahan cairan merah itu. Dia pun terkejut melihat tissue yang ku usapkan pada hidungnya berlumuran darah.


“Mau aku ganti menyetir?” tanya ku lagi. “Ngga usah, aku tak merasakan sakit apa-apa ko sayang. Aku baik-baik saja.” Sambungnya. Huuuh... aku pun menghela napas. Akhirnya sampai juga di rumah ku. “Aku langsung pulang ya? Maaf ga bisa nganterin kamu sampai ke dalam.” ujarnya. “Iya gak papa, kamu beneran baik-baik aja sayang? Aku khawatir..” ucapku. “Iya, aku gak papa. Daaah” pamitnya.


Malam pun semakin larut, rasanya hati terasa resah dan kalut. Entah apa yang membuatku takut. Ku paksa 

pejamkan mataku tapi rasanya rasa kantukku tak kunjung datang. Hingga ku telfon Bara, dan baru lah ku bisa tertidur dan meninggalkan obrolan kita yang entah sampai mana tadi malam.


Pagi-pagi dia telfon katanya dia hari ini tak bisa masuk sekaligus tak bisa antar jemput diriku, dia bilang dia masuk angin dan muntah-muntah terus ujarnya. Aku pun sedih sekaligus sangat khawatir, tapi aku katakan aku tak bisa menengoknya hari ini karena jam kuliah hari ini full, belum lagi harus mengerjakan proposal yang sudah tertunda dua hari yang lalu dan harus sudah jadi besok. Dan Bara  pun bisa memakluminya.


***


Ke esokan harinya...

“Pagi sayang” sapanya pagi ini seraya cipika-cipiki. Seperti biasa dia menjemput ku untuk berangkat kuliah bersama. “Pagi juga” balas ku dengan tersenyum mesra. “Gimana, keadaan kamu udh baikan nih sekarang?” tanyaku lanjut. “Udah dong, cuma masuk angin doang.” Ujarnya meremehkan.

Pagi ini sang mentari meredupkan sedikit cahayanya. Hanya tinggal menunggu hitungan jam pasti kota  Bogor ini akan di serbu oleh ribuan rintik hujan yang turun menciumi bumi dan bercumbu hingga akhirnya meresap kedalam lapisan-lapisan tanah.


Seperti biasa, duduk berdua di taman kampus dengan memakan cemilan kentang goreng dan minuman yang sebelumnya kami beli di cafetaria kampus. Kami duduk di bawah pohon yang rindang, sepoi angin menerbangkan rambutku yang tergerai kesana kemari. Begitu rindang dan pemandangan sekitar yang hijau sehingga menyejukkan pandangan mata. Rasanya nyaman sekali..


“Nay..” panggilnya. “Iya, ada apa?” sahut ku. “Besok aku harus take off ke Singapore.” Ucapnya. “Hah? Mau ngapain sih yank?” tanya ku kaget. “Aku di minta Papah buat control perusahaan cabang yang ada disana. Soalnya om Ranu yang biasa bertugas mengontrol perusahaan itu mengambil cuti yang cukup lama. Aku disana cuma dua bulan ko, sayang. Gak lama..” jelasnya. “Kamu bilang gak lama?” tanya ku kesal. “Iya daripada dua tahun, hayoo???” godanya. “Aah ga lucu Bara. Lagian kamu kan belum sembuh benar sayang.. Lihat saja, wajah mu masih pucat !” Jawab ku jutek. “Tenang aku baik-baik saja.. Nanti aku bawakan oleh-oleh deh. Kamu mau oleh-oleh apa? Ayo katakan?” rayunya.


Aah tiba-tiba semilir angin berubah menjadi semilir yang gersang.  Suaranya pun terdengar mendayu-dayu sendu. Bagaimana ini,  sebelumnya aku tak pernah berjauhan sampai kota, selat atau pulau sekalipun tak ada yang mampu memisahkan kita. Tapi ini? Dalam negara yang berbeda... Hoooh.. 2 bulan, 4 minggu, 60 hari, 1440 jam, 86400 menit, 5184000 detik. Selama sebanyak hitungan itu aku tak bisa lagi melihat wajahnya, menikmati tatapannya yang begitu meneduhkan, dan... haaah sudahlah.


***


Hari ini pukul 10.00 WIB aku mengantarnya ke bandara, melepasnya dengan sebuah pelukan. “Baiklah, akan ku tunggu. Tapi kamu harus janji, 2 bulan lagi kamu harus udah ada disini lagi. Daah jaga kesehatan ya sayang” ucapku seraya melambaikan tangan. Dia hanya membalas dengan anggukan kepala dan tersenyum. Langkah kakinya kini terdengar semakin menjauh pergi, hingga menghilang tak terdengar lagi tertelan hiruk pikuk keramaian bandara.


Menghitung hari detik demi detik.. hahaha rasanya sudah seperti lirik lagu saja. Hampa yang aku rasakan, seperti hidup tanpa udara. Rasanya seperti terkurung dalam ruang 3x3m, tanpa pintu, jendela bahkan ventilasi, apalagi AC, jangan berharap. Tyas selalu menghiburku, tapi tetap saja, terasa ada yang kurang.


***


Hari ini libur kuliah selama satu minggu ke depan. Tak ada kegiatan yang mengasyikan. Tiba-tiba telefon ku berbunyi. Kuharap dari Bara, tapi saat kulihat ternyata dari Tyas. “Hallo Yas.. ada apa?” jawab ku setengah malas. “Siap-siap sekarang ya ! Aku akan menjemput mu sesaat lagi. Kita ke rumahnya Bara. Oke? Pokoknya setengah jam lagi aku sampai di rumah mu.” Tut..tut..tut.. belum sempat aku mengekspresikan rasa terkejut, tak percaya, sekaligus bahagia ku ungkapkan pada Tyas, dia sudah menutup telfonnya lebih dulu. “Haaa!! Senang sekali rasanya, padahal baru 6 minggu di Singapore ko udah balik lagi ya? Mungkin karena rasa rindunya pada ku yang sudah menjamur pada hatinya. Tapi kenapa dia tak memberitahuku langsung??? Haah jahatnya kamu Bara.” Gumam ku dalam hati.


25 menit kemudian Tyas pun sampai di rumahku.  Dan ku suruh Tyas langsung tancap gas menuju rumah Bara, aku sudah tak sabar ingin memeluknya dan menagih oleh-oleh yang akan di berikannya pada ku. Asal kalian tau, rindu ini rasanya sudah merayapi hingga relung hati ku. Selama perjalanan menuju rumah Bara, ku tanyakan ini itu pada Tyas, dia hanya menjawab. “Aku tak tau, aku hanya ditelfon Bara dan menyuruhku menjemputmu dan mengantarkan mu kerumahnya.” Aneh juga fikirku.


Akhirnya sebentar lagi sampai juga di rumah Bara. Tapi.... tunggu dulu-tunggu dulu. Pasti ini ada yang tak beres. “Yas...” suara ku bergetar. “Itu... kenapa itu ada bendera kuning di depan rumah Bara, Yas? Siapa yang meninggal Yas? Siapa? Bukan Bara kan Yas?? Bukan Bara kan???!” cecar pertanyaan ku pada Tyas. Kalut hati ini benar-benar kalut. Mengapa ada bendara kuning yang terus melambai-lambai di pagar rumah Bara. Siapa yang sebenarnya meninggal? Hati ku terus berdoa semoga bukan mimpi buruk yang ku dapat hari ini. Tyas juga tetap membisu. Rasa penasaran dan takut semakin mencengkeram jantung ku. “Tyas ! coba kau katakan sesuatu? Jangan diam seperti ini !!” pekik ku.


Tyas membukakan pintu mobil ku dan berjalan memapahku. Aku takut, sangat takut. Aku tak mau melihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam. Tapi aku harus masuk ke rumah itu, karena aku ingin bertemu dengan Bara Gionahankam, karena aku rindu setengah mati padanya saat ini.


Pemandangan yang sama sekali tak ku inginkan, ketika ku menapaki pintu rumah Bara.


Yaa, aku bertemu Bara.. aku melihatnya... dan aku pun langsung memelukanya... tapi, kenapa sikapnya berubah menjadi dingin, kenapa aku tak mampu melihat tatapan matanya yang hangat lagi, kenapa aku tak bisa mendengar lagi rayuannya yang membius kalbu, kenapa Bara hanya diam dan terbujur kaku.

Lutut ku lemas, kaki tak mampu lagi menopang tubuhku, pandangan ku terhalang oleh bendungan air di kelopak mata ku. Aku pun terkulai tak sadarkan diri dalam peluknya, pelukanya yang sangat dingin, yang tak hangat lagi.


Ketika ku tersadar, aku harap itu tadi hanya mimpi. Mimpi buruk ku !. Tapi tidak, ternyata saat ini aku berada di dalam kamar Bara. Aku menatap sekelilingku. Mana Bara, tak ku temukan sosoknya di kamar ini. Entah mengapa hati ini sakit sekali rasanya. Hujan di area mataku pun mulai deras lagi. Dan sulit, sangat sulit untuk reda. ku langkahkan kaki ini keluar kamar Bara. Aku masih merindukannya. Langkah ku dipapah oleh Tyas yang setia mendampingiku.


“Bara...  Sayang bangun. Bara... kamu jahat. Katanya cuma 2 bulan, tapi kenapa pergi buat slama-lamanya. Kamu jahat Bara....” ku panggil namanya dengan lirih namun tak ada sahutan darinya hingga tangisan ku pun menjadi-jadi. Orang-orang di sekelilingku pun mencoba menenangkan ku. Hingga aku pun tak sadarkan diri lagi.


Ketika ku sadar, mbak Metta memberikan ku kotak kecil berwarna perak. Ketika ku buka ternyata sepasang cincin indah yang didalam lingkarya bertuliskan namaku dan nama Bara. “ku temukan itu dalam laci kamarnya Bara, Nay. Mungkin dia berniat memberikannya padamu dalam waktu dekat ini” ungkap mbak Metta. Miris, rasanya hati ini terasa teriris.


***


5 hari setelah kepergian Bara, aku hanya diam dan menjamu lamunan ku tentang hayal akan Bara. Ku pandangi dan ku pandangi lagi kotak kecil berwarna perak ini. Sehari setelah kepergian Bara, Tyas mengatakan kepada ku, bahwa kepergiannya saat itu ke Singapore sebenarnya untuk mengobati penyakitnya disana. Tyas bilang, Bara sebenarnya terkena Leukimia. Penyakit kanker darah yang ganas, yang berhasil mematikan kekasih ku. Bara sengaja tak memberitahuku agar aku tak terlalu khawatir padanya. Aku memang tak khawatir, tapi mungkin saat ini aku sudah terkena serangan jantung karena mendadak melihat Bara tiba-tiba terbujur kaku dan membisu di hadapanku. Tapi untung saja jantungku tak selemah itu, jika jantungku bermasalah, mungkin aku juga akan ikut menyusul Bara ke tempat abadi di sana.


Tunggu aku di sana Bara Gionahankam....