Daftar Blog Saya

Sabtu, 30 Maret 2013

Putri Hayal Menemukan Cinta

“PUTRI HAYAL MENEMUKAN CINTA”

            Bisa selalu ada di dekat mu, senyum selalu merekah seperti bunga di musim semi tatkala kita bertemu, kehampaan terpecahkan karena adanya dirimu yang selalu di dekatku, sikapmu yg tak lepas dari romantisme mebuatku selalu bagaikan puteri pagi yg selalu berseri.....
“DuuaarRR !!!” hhhaah terdengar guntur yang menyambut datangnya rintik hujan yg mengagetkan sekaligus membuyarkan hayalan ku saja. Hhmm.. rasanya aku harus bergegas pergi dari tempat mengembangkan daya imajinasi ku ini, karena hujan turun semakin deras.
Sesampainya di rumah..
“Meydaaa...! Kenapa baju mu basah begini sih nak???” sambut ibu ku. “di luarkan hujan bu.” Jawab ku singkat. “Iyaa, ibu tau. Tapi kenapa kamu bisa hujan-hujanan seperti ini? Mana mobilmu?” lanjut ibu. “Mey taruh di kantor bu. Tadi Mey sedang malas menyetir.” Balasku. “Kamu ini, malas menyetir malah hujan-hujanan. Padahal bisakan naik taxi...” gerutu ibu ku.
            Setelah membersihkan diri, ku rebahkan tubuhku dan menatap langit-langit kamarku. “Sampai mana tadi hayal ku? Haaaahh apakan terus menjadi imajinasi? Bisakah menjadi nyata? Entahlah ...” gumam ku dalam hati. Masih sama tak ada kabar darinya ketika ku melihat layar ponsel ku.
Sehari dua hari, yaah selama satu minggu ini dia menghilang. Walaupun begitu, tak lupa ku kirim pesan singkat menyambut pagi dan malam untuknya. Tapi percuma, tak ada respon. Sikapnya memang kadang hangat kadang dingin, huaah... sungguh membingungkan hati.
***
“Meeey... bangun meeey ! Lihat matahari sudah meninggi. Hari ini kamu berangkat kerja kan Mey?”
Ooh tidaaak. Aku bisa terlambat.. Bukan ! maksudku aku sudah terlambat !!! “Iya bu ..” balas ku seadanya.
“Bu aku langsung berangkat ya, sudah terlambat” pamitku. “Sarapan dulu Meeey..”
***
Sudah kesiangan, perut tak ku isi, dan mobil ku tinggal di kantor, lengkap sudah penderitaan ku... Oh ! aku lupa, kunci mobil ku tertinggal... yaaah tak mungkin juga ku kembali lagi untuk mengambilnya. Ku percepat langkah ku dan segera ku hentikan taxi yang melintas di depan ku, hampir lupa jika jam 10 nanti ada rapat produksi.

“Hey Mey, kenapa masih berdiam diri. Kau tak lapar?” sapa Debbie mengagetkan ku. “Oh, apa rapat sudah selesai?” balas ku asal. “Hahaha.. Kenapa kamu Mey, udah seleasai dari tadi.” Balasnya ejek. “Oowh.”
“Kamu ngga pergi makan siang ni?” tanyanya lagi. “Kunci mobil ngga kebawa, jadi ngga bisa kemana-mana.” Jawabku lemas. “Ya sudah ayo, makan siang dengan ku” ucapnya sambil menarik tangan ku.
***
“Ciyee.. Gimana dengan pacar baru kamu Mey” ucap Debbie di tengah menyantap makan siang. “Ehem.. uhuk.. pacar baru? Maksud mu?” kaget ku mendengarnya. “Iya, Tiyo? Sekarang kamu sama dia kan?” terusnya. “Oh, ngga ko.” Ucapku. “Perasaan ngga mulu, kapan iya nya? Haha” lanjutnya. “Entahlah Bie..” sahut ku lesu. “Iya maaf-maaf, jangan lesu gitu dong” hibur Debbie. “Gue berasa lagi di gantung di bawah pohon toge tau ngga Bie!” cetusku. “hahaa..” tawanya.
***
“Ggrrr..ggrrr...” getar ponselku. “Sore Mey mey” dari Tiyo, hhmm terima pesan dari nya senang bercampur kesal. Kemaren-kemaren kamu kemana saja?!
Setelah ber sms ria ini dan itu, akhirnya dia ingin menjemputku, kebetulan sekali, toh kunci mobilku juga tertinggal di rumah.
Dia mengajakku refresh dulu sebelum mengantarku pulang. Sesamapainya dirumah, haaaahh senang sekali rasanya, andai bisa seperti ini terus dan terus. Andai dia bisa jadi milikku, mungkin rasanya seperti..... “Mey, siapa tadi yg mengantarmu?” suara ibuku memecahkan imajinasi ku. “owh itu tadi Tiyo bu.” Jawab ku.
***
Tatapan mata yg selalu meneduhkan hati, ingin rasanya ku rengkuh. Tapi rasanya aku harus menunggu. Menunggu? Sampai kapan aku harus menunggu? Cukup lama aku menunggu kepastian, tapi kepastian itu tak kunjung datang! Kau sudah tau rasa yg ada, tapi ... aaahh sulit dijelaskan dengan kata-kata. Senyum mu memberikan arti tersendiri buatku. Tapi entahlah dengan senyum ku untuk mu. Tiupan angin semakin membuai dunia imajinasi ku. Rasanya tempat ini cocok sekali untuk berimajinasi, berhayal, hahaha kegiatan konyol sebenarnya, tapi tak ada yang bisa kulakukan selain berharap dan berimajinasi.
“Door !” seru Debbie “aahh Bie ! hampir saja jantung ku terlepas dari kedudukannya!” sewot ku. “Hahaha ya abis, ngelamun mulu..” sahutnya. “Bie..” panggilku. “apa?” “Bie, sebenarnya dia menganggapku apa sih Bie.. semakin hari rasanya semakin tak jelas!” curhatku. “Ya sudah lepaskan saja dan lupakan” balasnya. “Iya Bie, rasanya ngga bisa lagi, lelah batin ku Bie..” lanjutku. “Iya udah sini aku pijetin.” Celotehnya. “iiih Bie ! bukan gitu. Bie.. kalau dia benar hanya permainkan rasa ku, berarti dia jahat banget ya Bie. Kenapa ya Bie, pernah ku tanya bagaimana perasaan dia, dia Cuma diam.” Ucapku sambil bersandar pada pundaknya “Ya berati dia itu hanya mempermainkan mu Mey..” tungkasnya. “Iya kali ya Bie.. tapi kenapa susah banget buat ngilangin rasa ini, semakin ku berusaha tuk menghilangkan rasa ini semakin tersiksa batin ku rasanya Bie..” lanjutku sambil menahan embun yg keluar dari mata ku agar tak jatuh. ”semua itu butuh proses” jawabnya singkat sambil mengusap embun yang telah jatuh.
***
“Iyo, bisa kita bertemu sekarang?” pesan singkat ku. Menunggu balasan pesan singkat dari dia rasanya ku harus menunggu berabad-abad, melewati pergantian cuaca, iklim, sampai musim panca roba. Huuufh. . .
“Bisa, tapi mau apa?” balasnya dingin. Huuuh begitu dinginnya mengalahkan dinginnya suhu kutub utara balasan pesan darimu hingga mampu membekukan hati ku. Hemmph . . .
“Ada yang ingin aku bicarakan. Apa kau punya waktu? Kalo lg sibuk, ngga bisa juga ngga papa ko. Gak terlalu penting juga sih kayanya buat kamu pembicaraan ini. Hehee..”
“hmmp.. Emg mau ngomongin apaan sih. Ya sudah, iya. Tapi aku ada waktu jam 7 malam ini? Ngga papa?”
“Owh, ya udah ngga papa. Aku tunggu di cafe biasa ya?”
“Okey..”

Bintang redup, tak seperti biasanya. Malam terlihat sedikit kusam namun masih terselip keindahan yang terlihat. Bulan separuh yang tertutup awan kelabu menemani ku yang sedang menunggu seseorang di lantai atas cafe ini. Sudah hampir terlambat setengah jam dia belum muncul juga.
“Hey Mey, maaf udh nunggu lama. Hehe” ucapnya. Deegg.. dengan siapa dia kemari, wanita itu terlihat manis.. “oh hehe, iya ngga papa” balas ku. “Ini siapa Iyo?” lanjut ku. “Oh iya, ini Dea. Tadi aku yang mengajaknya sekalian pulang bareng searah soalnya, Gak masalah kan?” terangnya. “Oh, ii..iya  ngga papa ko” balas ku dengan senyum tipis.
OMG.. lagi-lagi rasanya nafas ku tersumbat, kata yang ingin ku bicarakan rasanya tercekat, rasanya aaaah seperti runtuh batin ku sudah lah kaget, kacau tak karuan. Kenapa dia harus membawa teman nya itu.. tapi apa itu benar temannya? Aaahh tak tau lah .
“Oh iya, mau ngomongin apa Mey ? tanyanya.
“Haaaah..  bagaimana ini Tuhan ... apa yg harus aku lakukan? Tak mungkin ku bicarakan ini dengan adanya Dea.” Gerutu ku dalam hati.
“Meeey, ko bengong” katanya lagi. “Oh iya iya sorry, emm apa ya.. sebenernya ngga ada omongan apapun sih, cuma mau ngobrol santai aja gitu,, tapi kayanya kamu buru-buru ya.. ya udah, kapan-kapan lagi aja deh ngborlol santaynya, barang kali kamu mau mengantarnya pulang. Hehe” jelas ku tak karuan.
“huu Meeey..Mey, yasudahlah aku balik ya?” pamit nya.
Apaaa? Beneran dia mau pulang? Dia lebih mihak Dea? Oh tidaak.. (gumam ku dalam hati)
“Meeey...?” sahutnya lagi.
“Iy..iyaa iya ngga papa, maaf ya Yo.” Jawab ku gugup.
“iya udah aku cabut dulu..” ucapnya sambil meninggalkan ku sendiri disini.
***
Aku pulang dengan langkah gontay, rasanya benar-benar hancur semakin hancur harapan ku. Ya Tuhan apa yg harus aku lakukan? Bantu aku mengikis sedikit demi sedikit rasa ini. Tak sanggup rasanya jika rasa ini terus bertengger dalam hati. Tak mampu ku memiliki rasa yg tak terbalas jika benar begitu pada nyatanya.
***
“Pagii Nona manis, pagi-pagi ko sudah murung kusam kusut tekak tekuk tak berbentuk gitu si muka nya? Hehee..” sapa Debbie “Apa an si Bie, lagi ngga mood buat bercanda bie” balas ku jutek. “Ada apa si ada apa? Kenapa?” tanyanya cari tau. “Ngga kenapa-kenapa, lagi ngga mau di bahas dulu lah” jawabku sedikit kesal. “Iya deh iya sorry.. cari cemilan yuu’?” ajaknya. “Sorry Bie, lagi males ngapa-ngapain” tanggap ku. “huuuw.. Ya udah deh” katanya sambil mencubit pipi ku. “Iiih, Biie.. !” teriak ku.. “Hahahaa” tawanya seraya pergi.
Tugas kantor yang menumpuk sangat menyita tenaga ku. Sudah jam istirahat. Ketika ku melihat ponsel “Mey Meeey ku, makan siang yuu’? aku tunggu di depan kantor mu jam setengah satu yaa?” sebuah pesan dari Tiyo.
Sebenarnya apa sih yang dia mau.. Semakin membuatku bingung dan tak mengerti, sekaligus membuat niat ku ragu untuk melupakannya. (gumam ku dalam hati)
“Okey Yo, aku tunggu..” balas ku.
***
“Mau lunch dimana nih?” tanya nya. “Dimana aja deh yg penting makananya T O P yaa !! hehe” jawabku. “okeeey, tenang aja pasti T O P.. haha” lanjutnya. Mobil pun di pacu menuju resto yang ia tuju.
Pembicaraan-pembicaraan pun menyelingi santapan siang kali ini, hingga akhirnya...
“Iyo, boleh aku tanya sesuatu?” ijinku. “Iya bolehlah, emang mau tanya apa?” jawabnya. “Jujur Yo, aku pengen kamu jujur. Sebenernya kamu anggep aku apa? Kamu udah tau perasaan aku ke kamu kaya gimana kan? Kalo aku udah suka sama kamu.. kamu tau itu kan?” tanyaku. “iya aku tau..” jawabnya singkat.
“hoooh gitu ajh respon kamu?” gumam ku dalam hati. “Lalu...” terputus olehnya ucapan ku. “Gini loh Mey, buat saat ini kamu masih aku anggap sebagai temen baik aku. Kalau buat kembali ke rasa yang kaya dulu, aku gak tau. Kita jalanin aja seperti air yg mengalir” jelasnya.
Berembun sudah mata ku, “Iyo, kamu sadar tidak? Secara tak langsung kamu udah mainin perasaan aku Yo, kenapa kamu ngga jujur dari awal kalau rasa kamu yang dulu ke aku udah hilang sekarang? Kenapa kamu ngga bilang? Kenapa kamu kasih harapan ke aku Yo kenapa? Tp ternyata itu hanyalah harapan, harapan palsu !” celoteh ku dalam hati.
“Maaf Mey, jika perasaan mu merasa terlukai. Skg kamu merasa seperti itu? Kamu merasakannya? Kamu tau mey...? Dulu perasaan ku jauh lebih sakit dari sekarang yg kamu rasa. Lebih sakit Mey lebih sakit..” ujarnya dengan mengusap embun yg jatuh dari mata ku.
“Haaah? Jadi maksud mu kau ingin membalas semua rasa sakit hati mu, begitu Yo? Oh, sungguh tak ku percaya. Oke Yo, aku minta maaf kalau aku dulu pernah menyianyiakan perasaan kamu yang udah kamu kasih ke aku. Tapi Yo, sungguh aku tak ada maksud untuk menyianyiakannya dengan sengaja, tapi saat itu aku belum yakin Yo dengan perasaan mu itu, apalagi dengan perasaan ku saat itu. Tapi kenapa kamu tega Yo?!” jelasku dengan menepis tangannya dan berlari keluar meninggalkan resto itu.
***
Ya Tuhan tolong hentikan laju derasnya air yang keluar dari mata ini. Mengapa aku harus menangis, untuk orang sepertinya?! Kini harapan ku terberai dan teromabang ambing oleh tiupan angin, seperti debu yg bertebaran tiada arti. Dan aku seperti burung yang hanya memiliki sebelah sayapnya, hingga tak dapat membawa terbang tinggi harapan yang kupunya.
Itu dengan harapan ku, lalu bagaimana dengan keadaan hati. Apa kau baik-baik saja? Haah.. tak mungkin jika baik-baik saja. Hati ku yg rapuh sebelumnya kini menjadi runtuh. Ku kumpulkan kepingan hati ku, dan ku tata kembali, tapi... ini sangat sukar. Tuhan.. tolong bantu aku.
“Sudaaah..” suara yang memecahkan kesunyian tempat ini. Ternyata Debbie.. “terimakasih Bie” sambil ku raih saputangan yg ia sodorkan pada ku. “Bie, ternyata dia lebih kejam dari yang ku kira. Dia hanya ingin aku merasakan sakit seperti yang dia rasakan dulu karena ku. Harusnya aku tau itu dari awal. Aku memang bodoh ya Bie.” Curhatku disertai dengan isakan tangis ku yg tak kunjung henti.
“Iya kau bodoh Mey, kau tak tau siapa yg lebih menaruh rasa padamu. Apa kau tak sadar dengan perasaan ku ini meey..?” gumam Debbie dalam hati.
“Bie, kenapa kau diam saja. Kau tak seperti biasanya. Kau kenapa? Apa ada masalah juga?” tanya aku lanjut.
“Miris, aku tak bisa melihat wanita yg kusayangi kali ini benar-benar sedih. air matanya membuat hati ku terhenyut jauh lebih dalam.” ucap Debbie dalam hati.
“Bie...” panggil ku lagi.
“Oh ii..iiya.. ngga ada ko ngga ada masalah. Ya udah kamu berenti nangis dong. Kalo gak berenti juga, nanti bisa jadi masalah buat aku.” Ujar Debbie. “iih.. apa sii Bie..” balas ku se adanya.
“Oh ya, tadi kamu di panggil oleh Pak Seto. Tapi dari jam makan siang sampai jam pulang kamu tak muncul juga. Ternyata dari tadi ada disini?” jelas Debbie.
Jawabku hanya dengan anggukan kepala. “Tapi, ngapain dia cari aku?” lanjutku. “entahlah..?” jawab Bie sambil mengangkat bahu nya. “Kau mau pulang? Ayo aku antar” lanjutnya mengajak. “Baiklah.. thanks ya Bie..” balas ku dengan tersenyum.
***
Keesokan harinya...
Sudah ada surat tugas di atas meja kerjaku, tugas apa ini kira-kira. Hemmmh..
“Australi?” ucapku kaget. “Kenapa Mey?” ucap Bie menyambar seperti bensin yg terkena api. “Haaah pak Seto.. kenapa harus aku sih..?!” keluh ku. Bie langsung mengambil surat yang sedang ku pegang. “kenapa wajah mu ikutan lesu Bie? Yg akan berangkat kan aku, bukan kau” ujarku. “tiga tahun? Lama sekali Mey...” ucap Bie melemah. “Ya bagus kan buat mu, tak ada yang merepotkan mu lagi nanti untuk tiga tahun kedepan.” Kataku sambil membereskan meja kerja ku karena sore ini juga harus segera take of.
Ya, aku di tugas kan untuk mengadakan penelitian dan kerjasama dengan perusahaan yang ada di Australi selama tiga tahun kedepan. Cukup lama dan menjenuhkan sekali memang, tapi ya sudah lah. . .
Sore harinya, aku segera ke Bandara di antar oleh Debbie. Di dalam perjalanan menuju bandara ponsel ku berbunyi, ”Mey, tadi aku kerumah mu tapi tak ada orang satupun di rumah mu. Kau sedang ada dimana sekarang?” pesan dari Tiyo. “aku sedang ada urusan di luar” balas ku ketus. “Oh, ya sudah.. aku ke rumah mu hanya ingin mengantarkan undangan pertunangan ku dengan Dea. Aku taruh bawah pintu ya?” balasnya lagi.
Apaaah? Pertunangan?! Seketika Hati ini seperti tersayat-sayat. Oh rasanya perih.. amat perih. Mata ku pun yang sedari tadi berkaca-kaca akhirnya terpecah juga menjadi hujan air mata. Ya Tuhan, begitu jahat nya dia, sama sekali tak bisa menjaga perasaanku.
“Kenapa Mey?” tanya Bie sedikit panik. “Tiyo.. Bie, Tiyo akan bertunangan dalam waktu dekat ini dengan Dea.” Seketika tangisan ku menjadi-jadi.
“Tiyo lagi, Tiyo lagi...” gerutu bie dalam hati.
***
“Thanks Bie, kamu udh nganterin aku. Bie, aku boleh ngerepotin kamu sekali lagi?” pinta ku. “Berkali-kali lagi juga ngga papa Mey, hehee” celoteh bie. “Biiiee.. kamu ini. Bie tolong sampaikan salam ku pada Tiyo yah? Mungkin ini salam menjadi salam terakhir dari ku, karena aku tak akan masuk dalam hidupnya lagi. Mungkin ini salah satu jalan buat ku untuk menghilangkan kesedihan yang aku rasakan saat ini. Dan mungkin aku bisa menemukan jodoh bule ku di sana, hahaha” kata ku. “jangan Mey, jangan cari jodoh di sana, nanti bagaimana dengan ku.” Celah Bie. “Apa sih Bie maksudmu, hahaha. Ya sudah tolong sampaikan salam terkhir ku padanya ya Bie..” ucapku dengan mata yg sudah berembun.
“Baiklah.. akan aku sampaikan nanti” balas bie dengan senyum tipis.
“Ya sudah, thanks ya Bie. Aku harus pergi sekarang.” kataku sambil melangkah pergi.
“Mey...” panggil Bie dengan menggenggam tangan ku. “Mey, ada yg harus kamu tau sebelum kamu pergi.” lanjut Bie. “Apa?” tanyaku. “Mey, aku.. aku mencintaimu Mey, aku mencintai mu. Maaf aku telah lancang mengatakan ini. Tapi aku tak sanggup untuk menahan rasa ini terus menerus. Mey, cepat kembali yah, aku akan selalu merindukan mu disini. Jaga diri mu baik-baik.” Jelasnya dengan senyum dan mata yg berkaca-kaca.
Seketika aku pun memeluknya dan menangis “Bie, benar yang kau katakan itu Biie?
Bie, aku akan belajar untuk mencitaimu Bie, jaga hatimu..” bisik ku di dalam peluknya...
***
Aku tak peka dalam merasakan keadaan sekelilingku. Ternyata ada orang yg lebih dekat dan mengerti akan arti cinta dan rasa saling menghargai. Tapi, aku beruntung. Karena akhirnya aku tau siapa seseorang yang lebih memahami ku lebih dalam. Akan ku jaga rasa darinya, tak akan kusia-siakan lagi seperti yang sudah-sudah. Aku masih seperti burung yg hanya memiliki satu sayapnya. Namun kali ini aku dapat terbang, karena aku terbang bersama dan berpegangan dengan burung yang memiliki sayap yang utuh ..

.
*Created: Yopi Nuraini

Sabtu, 23 Maret 2013

Melodi Sendu

Melodi sendu puing hati

Bosan dengan penat

Enyah saja kau pekat

Berasama kebisuan malam

Sunyi yang membungkam

Walau nyata, tak dapat ku genggam angin

Hanya terasa semilirnya yg begitu dingin

Biarpun malam ditaburkan lebih banyak lagi bintang di angkasa

Esoknya kan tetap pergi jua ..

Kamis, 21 Maret 2013

Kesemuan

Setangkai mawar yang berduri

Pencipta lara bila salah genggam

Cercah cahaya sang surya

Membakar kering sukma dalam jiwa

Gemuruh hati mencaci diri

Untuk apa sayang tulus ini

Kebodohan hipnotis  diri

Rasa yang menguasai daya imaji

 

Hembusan angin sendu berulang kali menampar ku

Sunyi yang begitu mencekik kalbu

Matikan aku dalam rasaku

Mengejar bayangan ku pun aku tak mampu

Apalagi menggenggam bayang mu

Menunduk dan bercerminlah dari air mata yang menitih

Lihatlah dalam bayang semu itu, siapa aku? Siapa aku?!

Tak lebih dari seusang debu

 

Gulita dalam gelap jeritnya malam

Matahari dan bulan tak mungkin saling menyulam

Melepuh bara ku genggam

Saksikan penghianatan rasa yang kelam

 

 

My C E R P E N


TALI CINTA ABADI
Secercah cahaya menghiasi langit pagi ini. Redupnya cahaya bulan tergantikan terangnya cahaya sinar mentari. Terdengar sayup tangisan bayi dari sebuah rumah di ujung desa ini. Ya, baru saja terlahir seorang bayi cantik bernama Cahaya. “Aya” begitulah keluarga ini memanggilnya. Keluarga yang tak pernah merasakan kemewahan akan harta, namun mereka memiliki kekayaan akan hati.
3 bulan sudah terlewati dengan adanya keluarga baru di tengah-tengah mereka. Namun, semakin hari semakin tak mampu pula pendapatan mereka menyanggah kebutuhan perekonomiannya. Setiap harinya, keluarga ini selalu memutar otak mencari cara bagaimana dan bagaimana agar mendapatkan uang. Jangankan membeli susu formula untuk si bayi, untuk biaya pengisian perut pun terasa amat berat bagi mereka.
Akhir-akhir ini kesehatan Aya menurun, ia mulai sakit-sakitan. Bagaimana tidak, dengan lingkungan sekitar rumahnya yang kumuh seperti itu pastilah kurang baik untuk kesehatan setiap orang yang menempatinya.
Himpitan ekonomi, memikirkan masalah keuangan, rasanya semua itu mencekik nafas mereka. “Pak, bagaimana, kalau Aya kita berikan saja pada ibu Anjani?” ucap ibu marwah dengan ragu kepada suaminya. Ya, ibu marwah adalah ibu dari Cahaya. “Apa? Apa ibu tidak salah ucap??? Bapak tidak mau bu ! Bagaimana pun, bapak akan berusaha lebih untuk mencari uang” ucap suaminya yang bernama Salim dengan mimik muka terkejut. “Tapi pak, ibu tidak tega dan tidak mau Aya hidup di keluarga dengan keadaan seperti ini. Lebih baik ibu berikan saja Aya pada ibu Anjani, biar mereka yang asuh Aya. Hidup dan masa depan Aya akan lebih terjamin pak disana. Lagi pula, ibu Ajani belum mempunyai anak sampai saat ini, dan seminggu yang lalu Bu Anjani meminta Aya untuk di asuhnya” Tegas istri pak salim. “Tapi bu,..” ucapnya terhenti.
Seketika suasana menjadi hening.....
“Baik lah bu, besok kita kerumah Bu Ajani untuk memberikan Aya pada bu Anjani” kata suaminya dengan mimik muka yang sayu dan mata yang berembun. Dalam hatinya meraung tak mau memberikan anaknya pada orang lain, namun di sisi lain hatinya berbisik, ini ia lakukan semata-mata agar anaknya mendapatkan masa depan yang lebih baik di kemudian hari.
Keesokan harinya, orang tua Aya mendatangi kediaman bu Anjani untuk memberikan Aya padanya. Setelah menyerahkan Aya pada keluarga bu Anjani, bu Anjani sangat senang dan berterimakasih dan ia pun berjanji akan menjaga Cahaya atau Aya dengan sangat baik.
Kemudian pak Salim dengan istrinya pulang dengan keadaan hati yang hampa. Sesampainya di rumah, ke adaan menjadi sunyi dan sepi, tak ada lagi suara tangisan Aya dan senyum manisnya. Walaupu bagitu, mereka tetap senang karena masih ada anak sulungnya yang menemani.
***
18 tahun sudah berlalu. Keluarga ini pun telah melewati tahun demi tahun tanpa di temani oleh putrinya, Aya. Sudah tak ada kabar tentang Aya selama 15 tahun terkhir ini. Ya, ketika Aya berumur 3 tahun, keluarga bu Anjani meninggalkan desa kecil ini yang terdapat di kota Sukabumi, mereka pindah ke Jakarta, dengan alasan ikut suaminya yang sedang ada proyek d kota tersebut.
Tahun ini Aya memasuki perguruan tinggi. Di perguruan tinggi ia menjalin hubungan dengan seorang kakak angkatan kuliahnya. Putra, iya, itu adalah nama kekasihnya. Putra adalah seorang anak yang pandai namun ia berasal dari keluarga yang kurang mampu.
Suatu hari Aya membawa kekasihnya itu ke rumah. Namun, setelah sampai di sana orang tua Aya bertanya pada Putra tentang dari mana asalnya dan bagaimana keluarganya. Setelah orang tua Aya tau bahwa Putra berasal dari keluarga yang kurang mampu dan orang tuanya hanya seorang penjual krupuk, raut wajah orang tua Aya berubah sinis seketika. Tak berapa lama orang tua Aya beranjak pergi dari ruang tamu tersebut dengan menarik tangan Aya.
“Aya ! Sini kamu ! Kamu itu apa-apaan sih, bergaul bahkan pacaran dengan anak penjual krupuk seperti dia ! Selera kamu itu bagaimana si Aya ?!” oceh sayup sang mamah. “Mah, mamah ga boleh ngomong kaya gitu. Dia itu anak baik-baik ko mah.” Balas Aya. “Iya, tapi dia berasal dari keluarga yang serba kekurangan ! Nanti apa kata teman-teman mamah, teman-teman kantor papah? Bisa bikin malu kita tahu tidak!” ucap mamah. “Mamah !” tangis Aya sambil berlari menuju kamarnya.
“Maaf ya putra, lebih baik sekarang kamu pulang saja. Lagi pula hari sudah semakin sore.” Pinta mamahnya Aya. “Oh, iya. Baiklah tante, saya pulang dulu. Tapi Aya kemana ya tante?” tanya Putra pada mamahnya Aya. “Oh, dia.. dia sedang di toilet.” Balas mamahnya Aya singkat. “Ya sudah saya pulang dulu tante, salam buat Aya.” Kata Putra sambil bergegas pulang meninggalkan rumah Aya.
Walaupun ke dua orang tua Aya tidak menyetujui hubungan Aya dengan Putra, namun mereka tetap meneruskan hubungan tersebut. “Maafin sikap mamah aku kemarin ya sayang.” Ucap Aya  membuka pembicaraan. “Iya, tidak apa-apa sayang, aku ngerti ko kenapa orang tua kamu bersikap seperti itu. Tapi, sikap orang tua mu sepertinya ada benarnya juga.” Balas Putra. “Maksud kamu apa?” tanya Aya. “Ya, lebih baik sampai disini saja hubungan kita. Aku tau diri ko, kalau aku tak pantas untuk mu.” Jelas Putra. “ih sayang bicara apa sih?! Aku tak mengerti ! Sudahlah, tak usah memikirkan masalah ini lagi, kita jalani saja seperti air mengalir. Toh nanti lama-lama mereka akan menerima hubungan kita juga.” tuntas Aya.
Hubungan mereka pun masih tetap berlanjut walau tanpa restu dari ke dua orang tua Aya untuk saat ini. Hingga suatu ketika, sewaktu Aya pulang dari kuliahnya, Aya tak sengaja mendengar pembicaraan ke dua orang tuanya di ruang tengah. “Pah, gimana kalau kita beritahu Aya yang sesungguhnya, kalau kita... kalau kita adalah bukan orang tua kandungnya.” Tanya mamah angkat Aya. “Tapi mah, kalau dia pergi meninggalkan rumah ini setelah dia tahu kalau dia bukan anak kita bagaimana?” balas papahnya. “Tapi sudah saatnya Aya tahu tentang ini pah.” Jelas sang mamah.
Tiba-tiba...
“Apa?.... Apa yang mamah katakan tadi?... Ay..Aya bukan anak mamah?! Aya hanya anak angkat kalian?! Lalu siapa orang tua Aya yang sebenarnya pah? Mah? Siapa??!” Ucap Aya terjekut sambil berjalan mendekati orang tua angkatnya dengan muka yang pucat dan air mata yang berlinangan.
“Ay..Ayaa?!” ucap mamah dan papah Aya secara bersamaan. “Kamu sudah pulang nak?” tanya mamahnya dengan gugup. “Mah? Yang kalian biacarakan tadi, itu tidak benarkan mah?” tanya Aya sambil menagis dan terduduk lemas. “ii..iiya Aya, sebenarnya... sebenarnya kamu... kamu bukan anak kandung kami, kamu adalah anak angkat kami. Tapi, walaupun begitu kami tetap sayang sama Aya seperti sayang pada anak kandung mamah sendiri” tegasnya sambil menitihkan air mata. “Aya harus janji ya sama mamah, Aya tidak boleh pergi meninggalkan rumah ini. Mamah takut kehilangan Aya, mamah tak mau kalau itu terjadi.” Lanjut mamah angkat Aya. “Mah, makasih banyak ya mah, sudah mau merawat Aya sampai Aya sebesar ini” balas Aya. “Lalu, siapa orang tua Aya yang sebenarnya mah? Siapa?! Kenapa mereka tega membuang Aya begitu saja?!” lanjut tanyanya sambil menangis. “ssstt, Aya tidak boleh bicara seperti itu, orang tua Aya itu baik, dan mereka itu bukan membuang Aya, tapi menitipkan Aya pada mamah.” Jelas ibu angkatnya.
Kemudian, ibu angkat Aya pun menjelaskan semuanya. Dari mana Aya dan siapa orang tuanya yang sebenarnya. Kemudian Aya memaksa ingin bertemu dengan orang tua kandungnya. Akhirnya ibu angkat Aya mengizinkan Aya untuk bertemu dengan keluarga kandungnya dan ibu angkat Aya pun memberikan alamat keluarga kandungnya.
Ke esokan harinya, Aya pun bersiap-siap untuk melakukan perjalanan untuk bertemu dengan ibu kandungnya yang berada di desa terpencil di kota Sukabumi. Kebetulan kuliah juga sedang libur selama satu minggu kedepan.
Selama perjalanan, Aya selalu menanyakan tentang dirinya kepada pak Ucok, seorang supir pribadi yang sudah lama bekerja di keluarga tersebut selama hampir 20 tahun.
Setelah melakukan perjalanan kurang lebih 6 jam, akhirnya Aya pun sampai di tempat yang ia tuju. Ketika sampai di depan sebuah rumah, Aya diam sejenak dan memastikan alamat yang di bawanya apakah benar atau tidak. Aya sempat diam, dia tidak bisa berkata apapun. Dia melihat dari balik jendela mobilnya, terlihat rumah yang sangat lusuh, kumuh dan tidak layak huni bagi dirinya. Dia sempat bertanya pada pak Ucok supir pribadinya itu, “Pak, apa benar ini alamatnya?” tanya Aya lirih. “Iya neng, benar ini alamatnya.” Jawab pak Ucok singkat.
Kemudian dengan segera Aya pun keluar dari mobilnya dan melangkahkan kakinya menuju rumah kumuh tersebut. Ia berjalan perlahan melangkahkan kakinya tapak demi tapak dengan tatapan penuh kemirisan melihat keadaan rumah tersebut. ketika sampai di depan pintu rumah tersebut, Aya mengetuk pintu rumah itu dengan perlahan. “assalamualikum, permisi?” ucap Aya.
Tidak lama kemudian pintu pun terbuka, dan munculah seorang wanita dengan wajah yang penuh akan kerutan. Aya pun sempat diam mematung sejenak ketika melihat wanita itu, ia menatap mata wanita itu dalam-dalam. Terlihat jelas bagaimana kerasnya hidup yang wanita itu jalani. Seketika pandangan Aya pun kabur tertutup genangan air mata. Dan perlahan  langkah kaki Aya mendekat dan mendekap wanita itu. Dan, “Ibu?  ibuu... ini Aya bu.. ini Cahaya. Ibu masih ingatkan bu sama Aya? ibu masih ingat kan?” terang Aya dengan mata yang tak henti-hentinya mengeluarkan air yang begitu derasnya. Ibu Aya pun masih tetap diam mematung, ia merasa antara percaya dan tidak percaya bahwa yang ada di dekappannya saat ini adalah anaknya, Aya, yang ia berikan pada orang lain 18 tahun yang lalu.
“Aya? ini benar kamu nak???” tanya lirih ibu kandung Aya dengan menatap wajah Aya. Tangisan pun tak terbendung lagi. Bagaikan sedang terjadi hujan air mata di rumah itu. “Iya bu, ini Aya. Ibu masih ingat?” balas Aya. “Iya Aya, ibu masih ingat. Ibu sangat merindukan mu nak. Ternyata kamu sudah tumbuh dewasa sekarang.” Jelas ibu kandungnya. “Iya bu, ibu kenapa tega membuang Aya bu, kenapa?! Apa ibu tak sayang dengan Aya?” tanya Aya. “Bukan begitu nak, sungguh bukan begitu. Keadaan yang memaksa ibu untuk melakukan ini semua.  Ibu sayang, ibu sangat sayang sekali sama kamu nak. Ibu lakukan itu karena, ya kamu lihat sendiri kan sayang, keadaan ibu kandung mu seperti ini.” Terang ibu kandung Aya. “Ayah, ayah mana bu ? Ayah mana? Aya ingin sekali melihat wajah ayah Aya bu, ayah mana?” tanya Aya lagi. “Bapak mu sudah tiada nak, dia sudah tenang di alam sana. Dia meninggal 2 tahun yang lalu karena penyakit paru-parunya.” Jelas ibu. “Apa bu? Bapak kandung Aya sudah meninggal bu?” katanya dengan perasaan shock. “Aya belum pernah melihat wajah bapak bu, Aya belum pernah mencium tangan Bapak, belum pernah memeluknya, belum pernah membuatnya tersenyum, belum pernah...” “sudah nak sudah” kata ibu dengan memotong ucapan Aya.
“Ibu, kenapa bu? Sepertinya ada ribut-ribut di luar?” tanya anak sulungnya sembari keluar menuju depan rumahnya. Seketika wajah Aya menjadi pucat pasi, terasa seperti petir sedang menyambar hatinya saat itu, degup jantung terasa terhenti, nafasnya terasa tercekik, tatapan mata yang penuh tanya ketika melihat anak yang menghampiri ibu kandungnya  itu adalah Putra. Ya, dia adalah Putra kekasih nya. Hatinya berteriak penuh tanya mengapa dia berada di sini. “sa..ssayang? Kenapa bisa ada di sini?” tanya Aya dengan suara bergetar. “Ya kamu, kamu kenapa bisa kemari? Dari mana kamu tahu alamat rumah ku Aya?” tanya balik Putra. “Ini? Ini rumah mu juga???” tanya aya selidik. “Rumah mu juga? Apa maksudmu?” tanya Putra heran.  “Ibu, kalau boleh tau, Putra siapa ibu?” tanya nya penuh khawatir. “Dia anak ibu, kakak kandung mu nak.” Jawab ibu kandung Aya.
Seketika pandangan Aya pun berubah menjadi gelap, suara sekitar yang terdengar kian samar hingga tak lagi terdengar. Ya, Aya pun langsung tak sadarkan diri ketika mendengar bahwa Putra adalah kakak kandungnya. Beberapa menit kemudian Aya pun tersadar.
“Tidak! Ini tidak mungkin! Kamu kakak kandung aku???” ucapnya seraya memandang Putra. “sayaang, ini tidak mungkin kan?? Kamu bukan kakak kandung aku kan sayaaang???” lanjutnya. “Sebenarnya ada apa ini? Apa kalian sudah saling kenal?” tanya ibu. “Iya bu, dia adalah wanita yang pernah ku ceritakan pada ibu.” Jelas Putra. “Jadi, maksud mu dia itu kekasih mu?” tanya ibu. “Tidak nak, ini tidak boleh dibiarkan!  Kalian harus akhiri hubungan kalian sekarang juga, karena kalian adalah saudara sekandung nak.” Sambung ibu. “Tapi bu,” sanggah Putra. “Tidak ada tapi-tapian. Sudah jelas hubungan kalian itu adalah hubungan terlarang !” tegas ibu.
***
Awan yang berkabung semakin menambah suasana gundah nan lara. Derasnya hujan di luar terkalahkan oleh derasnya air yang bermuara di mata Cahaya. Gelegar petir mengiringi debar jantung yang kian berguncang seraya jiwa pun semakin termangu.
“Nak, ini makan dulu” suara ibu yang memecah lamunan Aya. “Aku tidak lapar bu” balas Aya. “Kenapa? Apa makanan ini tidak cocok untuk mu?” tanya ibu. “Bukan bu, sungguh bukan itu. Aya ...” “Sudah nak, lupakan kakak mu sebagai kekasih mu, kamu ini anak ibu yang cantik dan manis. Kamu akan mendapat pengganti yang lebih baik lagi dari kakakmu.” Terang ibu dangan memutus ucapan Aya sebelumya.
Hujan belum reda, masih mengguyur perkampungan di desa kota Sukabumi itu. Lembayung sore senja yang sendu itu pun tak terlihat, tertutup awan mendung yang menggantung. Entah bagaimana keadaan jiwa Aya yang sesungguhnya. Ia mencari pak Ucok supirnya, namun dia diam teringat bahwa pak Ucok hanya mengantarnya saja dan akan menjemputnya minggu depan nanti.
Hujan masih belum reda, tiba-tiba Aya yang sedari tadi duduk termangu di depan rumah, lari keluar meninggalkan rumah tersebut. Dalam ke adaan hati yang gundah, ia memutuskan untuk pulang walau tanpa pak Ucok supirnya. Aya pun terus berlari dengan mencari angkutan umum yang mungkin ia bisa temui. Guyuran hujan yang terus membasahi raganya tak ia perdulikan.
***
“Ibu... Ibu..., apa ibu tahu dimana Aya? Sudah kucari di ruang depan, di kamar tak juga ku temukan” tanya Putra pada ibunya. “Yang benar nak, tadi dia ada di depan.” Jawab ibu. “Tidak ada bu, Putra sudah mencarinya, tapi tidak ada disana.” Terang putra. “Apa dia pergi ke rumahnya meninggalkan rumah ini tanpa pamit?” lanjut Putra. “Ibu tak tahu nak, coba kamu cari keluar barang kali dia masih dekat-dekat sini.” Perintah ibunya resah. “Baiklah bu, akan Putra cari.”
***
Mentari pagi semakin beranjak tinggi, cerahnya awanpun mampu mendampingi sang mentari. Namun tidak begitu dengan angin yang berhembus, terasa mengilu tak nyaman di kalbu.
“Ya Tuhan, Aya! Nak bangun nak, bangun ! Pah, papah.. Aya pingsan pah” teriak ibu angkat Aya ketika menemukan anaknya tak sadarkan diri di depan pintu rumahnya. Segera Aya di bawa masuk ke kamarnya dengan di gendong oleh papahnya. Kemudian mamahnya langsung memanngil dokter untuk memeriksa keadaan Aya.
Setelah dokter datang dan memeriksa keadaan Aya, dokter mengatakan bahwa Aya baik-baik saja, hanya saja dia kelelahan dan terlalu lama di bawah rintikan hujan. Beberapa jam kemudian Aya pun sadarkan diri. “Aya, kamu sudah bangun sayang?” sambut sang mamah ketika melihat Aya telah sadarkan diri. “Aya, Cahaya, kamu kenapa nak? Kenapa kamu diam saja? Kenapa kamu tiba-tiba menangis? Ceritakan sama mamah nak, apa yang terjadi di sana?” ucap Mamah sambil memeluk Aya. Namun tak ada respon yang di berikan lebih oleh Aya, dia hanya diam dan sungai kesenduan yang terus mengalir di pipinya.
“Mah, Putra mah. Ternyata Putra adalah kakak kandung Aya. Tapi Aya sangat mencitai dan menyayanginya lebih dari seorang adik yang mencintai kakaknya. Aya tidak ingin kehilangan dia, mah.” Tutur Aya dengan suara yang lirih terasa perih. “Jadi Putra adalah kakak kandung mu?” tanya Mamah dengan nada terkejut. Aya hanya menjawab dengan anggukan kepala. “Ya sudah, dari awal juga Mamah sudah katakan lepaskan dia, hingga akhirnya kamu harus melepaskannya juga kan.” Lanjut mamah. “Tidak mah, Aya tidak akan melepaskan Putra, Putra harus tetap menjadi kekasih Aya dan akan melanjutkan hubungan ini hingga batas akhir waktu nanti.” Ucap Aya dengan nada memaksa. “Aya..?” sambung mamah dengan sedikit tidak percaya.
***
Sudah beberapa hari ini Putra berfikir keras dan merangkai beberapa kata yang baik untuk di ucapkan pada Aya untuk mengakhiri hubungan yang tak semestinya terjalin itu. Hingga akhirnya, sore itu “Aya, tunggu Aya.” Seru Putra pada Aya. “Aya, kita harus bicara.” Lanjutnya.   “Iya, aku sudah tau. Kau hanya ingin bicara dan memberitahu ku jika hubungan kita akan tetap berlanjutkan sampai kita mati nanti?” kata Aya. “Bukan Ya, bukan itu. Aya, aku ingin kau mengerti. Kita akhiri hubungan kita sebagai sepasang kekasih, karena memang itu yang seharusnya kita lakukan. Aku minta maaf Aya, tapi aku akan menjadi kakak yang sangat menyayangi mu, tapi itu hanya rasa sayang kakak terhadap adiknya, tidak lebih.” Terang Putra, kakaknya. “Sayang...” ucap Aya lirih dengan meneteskan percik demi percik air yang bermuara pada matanya itu. “Maaf, aku harus pergi, masih ada urusan.”
Tertegun, terpaku dan termangu. Hembusan angin senja itu menelusup sukma yang layu. Deru angin yang semakin mendayu sendu mengiri langkah gontai sang pemilik hati yang sedang melayu itu. Terasa seperti badai yang menampar jiwa. Aya kini lebih banyak diam dan mengurung diri di kamar, raut wajahnya telah meredup tak secerah mentari pagi yang berseri.
***
Penyusutan pemasukan sedang malanda dunia ekonomi, saham-saham yang ada di kota-kota lain pun saling berjatuhan. Tak ketinggalan pula dengan perusahaan yang dimiliki oleh orang tua angkat Aya beserta sahamnya. “Apa pah?! Saham kita semuanya turun? Kita bangkrut pah? Perusahaan kita bangkrut?” teriak shock sang mamah saat mendengar kebangkrutan perusahaan. “Iya mah, dan besok rumah ini beserta fasilitasnya akan di sita oleh bank untuk menutupi semua kerugian itu.” Jelas suaminya lesu. “Ya Tuhan, bagaimana ini pah?” Balas mamah melemah dan terduduk di lantai.
Esok harinya, mereka pun segera berkemas dan pindah ke kontrakkan yang tak begitu besar  dan sangat sederhana. “Aya, maafkan kami ya nak. Kita hanya bisa tinggal di kontrakkan kecil ini.” Terang sang mamah. Namun Aya hanya diam saja, diam membisu seribu bahasa. Jiwanya terasa terkoyak, badai-badai kehidupan sedang menerpanya.
***
“Len, aku boleh pinjam uang mu untuk bayar semester ?” tanya Aya pada temannya, Leni. “hmm.. bisa, tapi aku hanya bisa meminjamkan separuhnya saja, karena memang adanya segitu.” Jelas Leni. “Okelah, tak apa Len” balas Aya, yang terus berbincang seraya berjalan menuju perpustakaan yang ada di kampusnya itu. “Ya, Aya, lihat deh. Itu bukannya Putra kan? Oh iya, dia bersama Bella pacar barunya ya?” Kata Leni seraya menunjuk Putra, yang semakin berjalan mendekat kearah perpustakaan. “Kak Putra.” Seru Aya. Putra pun langsung melihat kearah Aya seraya melepaskan genggaman tangan mereka berdua. “Eh Aya, sudah lama ya kita tak bertemu. Oh iya, kebetulan ini ada undangan pertunangan aku denga Bella, nanti kamu datang ya adikku.” sapa Putra. Seketika itupun Aya berlari pergi meninggalkan mereka dengan air yang mencair dari matanya. Jiwanya terasa terkena halilintar disiang bolong.
Seperti biasa sesampainya di rumah Aya langsung memasuki kamarnya. Dari siang hingga malam Aya tak kunjung keluar dari kamarnya. Sementara di luar telah terjadi cekcok antara mamah dengan papahnya. Tiba-tiba terdengar teriakan dari kamar Aya, seperti suara teriakan hati yang baru saja bisa meluap. “Ya, Aya buka pintunya!” panggil mamah. Namun Aya terus saja berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Sementara papah terus mencoba membuka paksa pintu kamar Aya hingga akhirnya terbuka juga. “Aya, kamu ini apa-apaan sih? Teriak-teriak tidak jelas seperti orang kesurupan saja.” Oceh mamahnya. “Kalian ! Suara tengkar kalian yang membuat kepala ku mendidih !” sanggah Aya. “Oh jadi sekarang kamu berani ya Aya?! Hah? Kamu itu harusnya cari kerja, untuk menambah pemasukan! Bukan selalu uring-uringan di kamar seperti ini!” ucap mamah  dengan nada emosi seraya mendekati Aya. “Kerjaanmu hanya menangis dan mengurung diri saja di kamar! Kuliah mu juga jadi berantakan, kamu mau jadi apa Aya? Apa hanya ingin menjadi benalu saja?!” cercah mamahnya dengan suara yang lantang dan mencengkeram erat kedua bahu Aya.
Tiba-tiba dengan cepat Aya mengambil gunting dari atas meja yang ada  di dekatnya. Dan tanpa sadar, Aya mengacungkan gunting tersebut tepat di depan mata mamahnya. “Aya ! Apa-apaan kamu ini Aya !” teriak mamahnya. “Singkirkan gunting itu, singkirkan !” ucap papahnya yang mendekat dan menahan tangan Aya yang sedang memegang gunting itu. Fikiran Aya yang sedang semerawut, keadaan hati yang kalut, serta emosi jiwa yang tak kalah terpaut. Merasa tangannya tak leluasa untuk menumpahkan emosinya, Aya pun kuat-kuat menghempaskan tangan yang menahan tangannya itu. Namun, ketika Aya mencoba menghempaskan tangan papahnya itu, tanpa di duga ternyata gunting yang sedang di pegang erat tangan Aya terhempas dan menusuk leher sang papah.
“Ayaaa !!!” teriak histeris mamah. “Apa yang telah kamu lakukan Aya?! Kamu pembunuh !” lanjut cela sang mamah yang kemudian melemas dan tak sadarkan diri. Tangan Aya yang sedari tadi memegangi gunting tersebut pun telah berlumuran darah. Aya menjauh menuju sudut ruangan seraya mencengkeram kepalanya, “Tidak ! Ini tidak mungkin ! Aku tidak membunuh papah. Aku bukan pembunuh. Bukan ! Bukan !!!”
Tetangga sekitar yang mendengar kegaduhan pun mendatangi rumah kontrakkan tersebut, untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Namun, kedatangan para tetangga pun terlambat, sudah tidak bisa mencegah kejadian yang mengerikan tadi. Ketua keamanan setempat yang mengetahui kejadian tersebut langsung melapor pada pihak yang berwajib. Tak lama kemudian pihak kepolisian pun datang ketempat kejadian perkara itu, dan membawa Aya ke kantor polisi untuk di periksa. Sedangkan kedua orang tua angkatnya di larikan ke rumah sakit.
Di kantor polisi Aya hanya bisa diam dan bermuram, tak jarang ia berteriak-teriak sambil menangis tak karuan. Jiwa Aya benar-benar terguncang hebat. Begitu banyak tekanan kehidupan dari sana sini yang menghampirinya. Akhirnya pihak kepolisan pun mengirim Aya ke Rumah Sakit Jiwa yang ada di kota Bogor untuk pemulihan jiwa Aya yang sudah tak seimbang itu. Sedangkan nyawa angkat papah Aya sudah tidak dapat tertolong lagi, ia menghembuskan nafas terakhirnya ketika dalam perjalanan menuju rumah sakit terdekat.
***
Putra, sang kakak pun mengetahui berita yang mengejutkan itu. Kemudian Putra bersama ibu kandung Aya pun datang menemui Aya ke kantor polisi, namun disana pihak kepolisian mengatakan bahwa Aya sedang dalam perawatan di Rumah Sakit Jiwa Bogor. Mengetahui hal itu, Putra dan ibunya pun bergegas menuju rumah sakit tersebut. Sesampainya di sana, Putra dan ibunya di antar oleh petugas rumah sakit untuk menemui Cahaya. Disana, di sudut sana Putra dan ibunya melihat sesosok gadis manis yang terkena beban mental kehidupan yang cukup berat. Mereka pun menghampiri Aya, dan ibu kandungnya pun tak kuasa menahan haru kesedihan dan memeluk erat tubuh Aya. “Aya, kenapa kamu nak? Apa yang terjadi pada dirimu saat ini.” Tutur ibu kandungnya sambil menyeka air mata yang membasahi wajah Aya. “Nak, sabar ya nak. Kamu harus kuat ya manis, ibu selalu ada di belakangmu.” ucap sang ibu memelas dengan menitihkan embun dari pelupuk matanya.
“Aya, adik ku.” Sapa Putra.  Aya pun memandang Putra dan menatap dalam Putra. “Kamu ! sedang apa kamu di sini? lebih baik kamu pergi, silahkan pergi dengan kekasih mu itu !” usir Aya. “Aya, sudah Aya. Jangan kau perlakukan aku seperti ini terus, jangan kau pandangi aku dengan tatapan kebencian. Aya..” bujuk Putra dengan menggenggam erat tangan Aya. “Aya, kau tau? Aku sangat menyayangimu Aya, sungguh. Aku juga sangat mencitaimu.” Terang Putra dengan menatap dalam Aya, begitu pun sebaliknya dengan Aya. Adu padang yang menggetarkan jiwa, memberi setitik obat kesegaran jiwa sang pesakitan. “Tapi Aya, sayang dan cinta ini hanya sebatas rasa sayang kakak kepada sang adik, tak lebih. Dan tak bisa lebih. Kita harus bisa memahami dan mengerti, mana yang seharusnya dan mana yang tak seharusnya. Jadilah adik yang membanggakan, Aya. Biar cinta kita kan selalu abadi dan terikat kuat karena adanya tali pertalian saudara di antara kita.” Tungkas Putra seraya memeluk Cahaya.

#created by. Yopi Nuraini