Langit
luas terbentang begitu megahnya. Mentari mampu mendampingi sang langit dengan
begitu gagahnya memacarkan sinarnya sampai kepenjuru dunia. Panasnya pun terasa
hingga ke hati, sukses menyulut emosi siang ini.
“Hei
Bara! Gak usah ikut campur lagi urasan aku ya. Emangnya kamu ini siapa?! kamu
siapa aku?? Hah???” solot ku. “Tapi Nay informasi ini benar adanya, kalau
status Dika sekarang sudah jadi suami orang.” Jelas Bara. “Terus apa untung
kamu ngasih tau semua informasi ini ke aku?” balas ku dengan nada tinggi. “Gak
ada untungnya buat aku, tapi buat kamu Nay! Aku peduli sama kamu ..” ucap Bara.
“Peduli kata kamu?? Kenapa kamu peduli sama aku? hah??” jawab ku ketus seraya
pergi meniggalkan Bara yang masih mematung diam tanpa kata. “Gak usah
repot-repot! Urusin aja hidup kamu sendiri.” Lanjut ku.
Bara
Gionahankam. Rasanya penat sekali telingaku mendengar nama itu. Pria yang suka ikut
campur urusan orang. Gak tau apa tujuannya, siang ini dia berhasil membuatku
kesal, emosiku sampai memuncah hingga ke ubun-ubun kepala ku. Bayangkan,
bagaimana aku tak emosi, tak ada badai, tak ada topan, angin semilir pun
hembusnya tak terasa, tiba-tiba dia seperti kilat yang menyambar dengan memberi
informasi padaku tentang Dika Jonesia, pacarku. Pake ngatain kalau Dika saat
ini sudah jadi suami orang. Gak mungkin banget !!
***
“Dika...
angkat dong telepon kamu !!! Udah 5 hari ini kamu diemin aku tanpa kabar !”
gerutu ku.
(Dika
itu sudah jadi suami orang....!) tiba-tiba terlintas difikranku, ucapan Bara kemarin.
“Haaah gak mungkin gak mungkin ini gak mungkin. Apa buktinya coba si Bara
bilang kaya gitu. Aah !!” ocehku dalam hati.
***
“Kayaknya
kamu harus pertimbangin ucapan Bara deh Nay, mungkin aja dia benar?” saran Tyas
sahabat ku. Aku hanya menatap tajam Tyas ketika dia sarankan seperti itu. “Lagian
Dika udah gak masuk kuliah sekitar satu minggu ini kan Nay?” lanjut Tyas.
Aku
ceritakan semua masalahku hari ini pada Tyas, dan dia memberikan saran seperti
itu??? Ya Tuhan... sebenaranya ada persekongkolan apa di dalam semua ini !! celoteh
hatiku. “Nggak! Aku gak mau percaya sama omonganya si B A R A.” kataku. “Ya itu
sih terserah kamu Nay. Hmm.. gimana kalau kita cari tau saja ke rumahnya???”
lanjut Tyas. “Tapi kan jauh yas, rumah dia di Semarang.” Jelas ku. “Yaelah cuma
Bogor – Semarang ini .” ucap Tyas dengan entengnya. “CUMA kamu bilang??? Oh
God...” keluh ku. “Gimana kalo kita ajak Bara sekalian?” lanjut Tyas
mengagetkan ku. “Nggak !!!” ku tolak mentah-mentah saran dia. “Naya Dianara...
kita ajak dia biar ada yang gantian menyetir. Gak mungkinkan aku yang menyetir
sendirian dengan jarak sejauh itu?” alasan Tyas. “Ya tapi kan, jangan Bara juga
kali !” ocehku. “Udah pokoknya ikuti apa kataku.” Tambah Tyas. “haaah apa-apa
an ini...” gerutuku.
***
Esok
paginya kita bertiga, aku Tyas dan BARA (!) meluncur ke kota Semarang, untuk
menemui dan memastikan kabar miring tentang Dika itu benar atau tidak. Aku dan Tyas duduk di depan, dan Bara ku
biarkan duduk sendiri di belakang. Tidak ada pembicaraan yang begitu mengasyikan
di dalam mobil, aku hanya bicara seperlunya saja. Selama perjalanan hanya
dipenuhi celotehan-celotehan dua mulut itu. Haah,, entah apa yang mereka
bicarakan.
“Bar,
kamu ya gantian bawa mobil abis kita istirahat nanti” seru Tyas. “oh, oke-oke”
jawab Bara singkat.
***
“Tu
perut apa gentong, emang bisa apa nampung makanan segitu banyaknya? Pesan makanan
sebanyak itu. Ckckk” oceh ku pada Bara. “Biarin, lagian aku gak minta kamu buat
bayarin semua ini kan?” jawabnya sambil tersenyum. Ku letakan makanan ku di
depan mejanya dan duduk dengan memalingkan mukaku darinya. “Hey gak sopan..”
seru Bara. “Masbuloh??” jawabku asal. “Udah cepet abisin makanannya
terus kita lanjut lagi perjalanannya.” Lanjutku. “Nanti dulu dong Nay, baru
juga 10 menit disini. Gak cape apa?” gerutu Tyas.
Waktu
masih menunjukan pukul 6 sore. Kali ini Bara yang membawa mobil untuk
melanjutkan perjalan sampai ke Semarang. Dia membukakan pintu mobil bagian
depan untukku, tapi aku acuh padanya dan membuka pintu mobil bagian lain. Aku
lebih memilih duduk di belakang mereka berdua ketimbang harus bersebelahan
dengan Bara, biar Tyas yang duduk di depan. “Aku mau tiduran di kursi belakang.”
Kataku singkat.
Dipikir-pikir
kenapa juga ya aku harus sesebal ini dengan si Bara, padahal dia tak jahat atau
yang semacamnya itu. Dia juga baik, tapi... “Haaah dia sudah menjudge pacarku
sebagai suami orang! Apa-apaan ini. Aku
tak terima.” Tiba-tiba fikaran jengkel ku melintas.
Akhirnnya
aku pun tertidur pulas. Hingga suara klakson container yang membuyarkan
mimpiku. Aku terperejat dan terbangun. Ketika ku lihat jam, ternyata masih jam
3 pagi. Ku lihat sekelilingku mereka semua tertidur pulas. Mereka memilih
menepi di pinggir jalan untuk tidur dan beristirahat. Maklum, Bogor-Semarang
mungkin akan di tempuh dalam 2 hari, mungkin juga 1 minggu?? , jika
perjalanannya sesantai ini.
***
“Hey
Nay, benar tidak ini alamat rumahnya?” tanya Tyas. “Ya menurut buku catatan
alamat ini, ya benar ini
rumahnya Dika Yas.” Jawabku.
Baiklah
ku coba turun dari mobil untuk memastikannya. Tapi sebelum itu ku rapihkan
terlebih dahulu penampilan ku, poles dikit sana sini wajah dan bibirku lalu
baru aku bisa beranjak dari mobil ini untuk menemui Dika.
Beberapa
kali ku coba menekan bel rumahnya dan mengetuk pintu rumahnya, sepertinya tak
ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah ini. Hingga ku coba tekan lagi bel
rumahnya dan akhirnya ada yang membukakan pintunya juga. “Nn...Naya???” sapa
Dika kaget. Akupun langsung memeluknya, karena rasa rindu yang sudah
menggerogoti hati. Tapi dia melepaskan pelukanku ! “haaah apa maksudnya??!”
omel ku dalam hati. “Kamu gak suk....” belum selesai kata-kata ku, tiba-tiba
ada perempuan anggun semampai berparas cantik datang dari dalam rumahnya,
seraya menghampiri Dika dengan begitu mesranya. “Siapa sayang?” tanya perempuan
itu dengan lembut.
Dari luar mataku menyelidik ke penjuru ruangan di dalam
rumah itu, dan “Aaah, itu foto Dika dan Istrinya mengenakan pakaian pengantin”
batinku. Lemas sudah tubuh ini. “Nggak tau sayang, aku juga gak kenal dia. Dia tadi
menanyakan alamat, alamat siapa tadi mba? Pak Dibyo ya?” jawab Dika pada
istrinya itu dengan bersandiwara bertanya
pada ku dan berpura-pura tak mengenali aku. Ooh, rasanya lutut ini bergetar dan
tak mampu lagi menopang tubuh ku. Tiba-tiba Bara berlari dan memegangi ku. “Maaf,
sepertinya kita sudah salah orang.” Seru Bara pada sepasang pengantin baru itu.
***
Mungkin
keadaan hatiku sudah pora-poranda seperti terkena dampak gempa berkekuatan 10
skala richter.
Yang menghancurkan kokohnya hati ini hingga menjadi puing-puing
yang tak berguna. Rasanya hujan di area mataku cukup deras, dan sepertinya
enggan untuk berhenti. Aku masih diam membisu, tak sepatah kata pun keluar dari
mulutku. Tak ku hiraukan mereka, entah kedua mulut itu berceloteh motivasi apa
untuk diriku.
Untung
di kota Semarang ini ada taman yang begitu rindang dan sepi. Aku pun duduk di
tepi air mancur di temani oleh dua kawanku itu. Hujan di area mataku masih
belum berhenti dan aku masih mematung diri. Tiba-tiba Bara yang di sebalah
kananku memagang kepalaku, dan di dekatkan pada bahunya. Semua mulut terkunci,
tak ada celoteh-celoteh dari mulutku atau mulut mereka.
“Harusnya
aku percaya, harusnya aku tak mengabaikan kata-katamu Ra” ucapku memecah
keheningan. “Aku terlalu bodoh, aku terlau keras kepala, dan aku...” “Sudah,
yang penting kau sudah tau yang sebenarnya.” Ucap Bara seraya memotong
perkataanku. Tangannya yang selalu setia menyeka air mata yang terus
membanijiri pipi ku. “Bara..” “Ya?” “Aku
minta maaf, karena selama ini aku bersikap jahat padamu.” Kataku. “Iya ngga
usah kamu pikirin, tapi kamu ngga jahat ko Nay..” balasnya. “Makasih Ra.”
Jawabku singkat.
***
Setelah
kejadian itu, seharusnya aku masuk dan menjadi penghuni Rumah Sakit Jiwa yang
ada di Bogor karena konsleting hati yang tak sinkron dengan otak setelah
kejadian itu. Tapi untungnya ada mereka, Bara dan Tyas yang selalu menghibur
ku.
“Nay,
Bara Nay..!!” teriak Tyas histeris pada ku. “Apa sih Yas? Bara kenapa?” tanya
ku setengah kaget dan setengah panik. “Bara..eem.. Bara..” jawab Tyas
setengah-setengah hingga membuatku tambah panik dan penasaran. “Bara kenapa???” “Bara akan mentraktir kita setelah jam pulang kampus
!!! hahahaa” gelak tawanya. “Ciyeee, gak usah sepanik itu kali Naya Danira..
hahaha kayanya ada sesuatu nih ?!” lanjut Tyas. “Jangan ngaco!!” Saut ku seraya
pergi. “Yeee.. ngambek. Hahaha” seru Tyas.
Iya
juga sih, tadi kenapa ekspresi ku berlebihan gitu ya? haaah.. gerutuku dalam
hati.
***
Setelah
jam kampus selesai aku langsung menuju cafetaria di pinggir danau dekat kampus,
tempat kami bertiga biasa nongkrong. Ku kira aku yang terlambat, ternyata
mereka berdua juga belum datang. “Tunggu dulu, gimana kalau aku ternya cuma di
kerjain doang sama mereka??? Awas yaa kalau terjadi seperti apa yang ku
fikirkan ini” omel ku dalam hati. “Hey Nay !” sapa Bara sembari tersenyum
mendekat. “Loh, Tyas mana?” tanya ku heran. “ku fikir dia dengan mu??” jawabnya.
Kemana tuh anak satu itu, keluyuran mulu.
“Kamu
mau pesan apa?” Tanya Bara. “Nanti dulu deh, tunggu Tyas.” Jawabku. “Emm..
sebenarnya Tyas gak aku ajak.” Balasnya. “Loh? Kenapa?? Ko gitu???” tanya ku
penuh selidik. “Nay,” seru Bara lembut sembari menggenggam erat jemari ku.
Tentu saja aku kaget tak di buat-buat, rasanya seperti bergetar hati ini, “Apa
yang dia lakukan ya Tuhan..” pekik ku dalam hati.
“Nay..
aku,,, hati aku jatuh Nay.. hati aku jatuh karena mu. Aku mencintamu Nay.” Ucap
Bara sembari menatapku dalam. Ooh entah mengapa hati ini rasanya melayang
hingga menyentuh atap langit, melihat tatapannya yang hangat membuat hati ini
berguncang, seperti ada gempa di hatiku. Aku masih diam seribu bahasa, entah
apa yang harus ku katakan. “Nay, kamu marah? Maaf bukannya aku lancang atau apa
tapi a...” “Bara, kamu tau kan gimana keadaan hatiku saat ini, yang masih belum
sembuh benar karena terluka oleh permainan cinta. Dan sekarang aku harus masuk
dan terjerumus lagi dengan apa yang namanya cinta? Dan aku, bersama hati ku ini
yang belum sembuh benar akan terluka kembali? Bisa-bisa babak belur hati ku,
Bara.” Jelas ku sambil perlahan melepaskan genggaman tangan Bara.
“Karena
itu Nay, aku tak mau kau larut dalam luka mu. Sementara aku, harus melihat
orang yang aku cintai terus-terusan bersanding dengan luka, hati aku ikut sakit
Naya. Apa kau tak tau itu?? Ha? Aku akan menyembuhkan lukamu, mengobati lukamu,
mengembalikan wajah ayu mu, bukan mempertahankan wajah layu dan sayu seperti
saat ini.” Terang Bara seolah ingin meyakinkanku.
Aku
diam, dan perlahan mengacungkan jari kelingking ku di hadapan wajahnya. Sembari
berucap “Apa kau janji akan melakukan kata-kata yang kau ucapkan tadi?” Bara
pun terkejut dan dengan senang hati dia ikut mengacugkan jari kelingkingnya
seraya berkata “Aku janji, Nay” Jemari kelingking kami pun saling mengikat, dan
aku pun tersenyum.
***
Kini
hari-hari ku menjadi penuh warna. Merasa sang mentari selalu tersenyum ceria
dengan teriknya yang selalu menyapa. Dia memang baik, sangat baik. Tak hanya
sebulan atau dua bulan pertama dia bersikap manis dan romantis padaku, sampai
detik ini pun walau hubungan kita sudah berjalan sekitar 8 bulan dia masih
bersikap sama seperti dulu. Jarang sekali yang namanya bertengkar. Aku
bersyukur pada Tuhan, aku bisa kenal dan bisa selalu bersama Bara Gionahankam.
***
Sore
itu, setelah ia beratih seni bela diri dia mengajakku ke taman. Seperti biasa
menjamu senja dengan candatawa kita. Tapi.... “Sayang? Kamu sakit???” tanya ku
khawatir. Siapa yang tidak khawatir kalau melihat kekasih hatinya tiba-tiba
terlaihat pucat pasi seperti mayat yang bernafas. “Ngga ko.. aku baik-baik saja”
jawabnya senyum tapi lemas. “Baik-baik gimana? Muka kamu pucat, keringet dingin
gini lagi.” Omelku. “Ya sudah kita pulang saja, biar aku yang membawa mobil
sampai rumah kamu, nanti aku pulang pakai taxi aja ngga papa.” Lanjut ku. “Baru
juga sampai di taman ini, baru duduk sebentar, masa udah mau balik lagi? Aku
ngga kenapa-napa sayang.. udah kita nikmati senja sore ini, sampai mentari
tenggelam bersama guratan lembayung senja itu..” rayunya. “Udah deh gak usah
sok puitis gitu, kalau liat tampilan kamu yang lemas kaya gini, rayuan mu itu
jadi tak romantis.” Jawabku apa adanya.
Akhirnya
ku paksa Bara untuk pulang, karena aku tak tega melihat kondisinya yang lemas
seperti itu. Tak jarang dia tiba-tiba lemas seperti itu jika terlalu banyak
aktifitas yang menyita waktu nya. Ketika ku tanya dia punya penyakit apa, dia
bilang dia tak punya penyakit apapun, dia bilang cuma kecapean dan kurang
vitamin. Tak jarang ku paksa dia untuk makan buah-buahan, karena kalau tidak di
paksa dia tidak akan memakannya.
***
“Tampang
mu lebih baikan sekarang, di banding kemarin seperti mayat yang bernafas.”
Gurau ku ketika bertemu Bara di kampus. Dia hanya tertawa dan menggandeng
tangan ku untuk mengantar ku ke kelas, karena dia tau jam pertamaku akan segera
di mulai.
Ya
kita memang beda fakultas, aku fakultas ekonomi dan dia fakultas hukum. “Udah
masuk sana, belajar yang benar.” Ujarnya tersenyum seraya mengecup keningku.
“Daaah” pamitku. “Daaah, biasa pulang aku antar. Jangan kemana-mana” katanya
sambil seraya pergi. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala saja.
***
Jam
kuliah ku sudah selesay, tapi dia masih ada satu jam mata kuliah lagi. Seperti
biasa ku tunggu dia di cafetaria kampus dekat danau bersama sahabatku Tyas. Tak
lupa ku ceritakan padanya tentang kejadian kemarin, kondisi Bara yang mendadak
drop seperti itu. Tak jarang obrolan aku dan Tyas di selingi senda gurau. Dia
memang sahabatku yang setia.
“Hey,
pulang sekarang?” tanya Bara yang tiba-tiba muncul dari belakang ku itu. “Ya sudah
ayo. Tapi kamu gak mau makan sesuatu dulu nih?” tanya ku. “Ngga, masih kenyang”
ujarnya. “kita pulang dulu ya Tyas..” tambahnya. Aku pun pamit pulang dan
melambaikan tangan pada Tyas.
“Mau
kemana dulu?” tanya dia ketika baru memasuki mobil. “Langsung pulang aja deh,
rasanya hari ini aku lelah sekali.” Keluhku. Dia melihatku dan menatap dalam. “Baiklah”
ucapnya sambil tersenyum. Aah rasanya tatapannya itu hangat sekali, lagi-lagi
mengguncangkan hati ku seperti terkena gempa, untung tak sampai terjadi
tsunami.
Jalanan
Bogor sore ini lumayan macet, tiba-tiba hujan lagi. Terliahat dari depan kaca
mobil, kilat petir yang membelah langit sore ini. Awan mendung yang menggantung
pun ikut menghiasi kilatan petir itu.
Sesekali
kulihat wajah Bara, pandangannya masih menatap ke depan, menatap jalanan yang
begitu semrawut rasanya. Tapi, oh tiba-tiba ada sungai merah yang mengalir dari
hidung Bara, ya Tuhan. Tentu saja aku terkejut bukan main, langsung ku cari
tissue di dalam tas ku. “Kenapa sayang? Cari apa? Gak usah tergesa-gesa gitu
kali cari sesuatunya, apa ada yang tertinggal??” celoteh Bara.
Hah,
dasar. Tak tau apa hidungnya mengluarkan darah seperti itu. Apa dia tak
merasakannya? Kemana lagi larinya tissue ku dari tas ini. Nah ini dia. “Sayang,
liat kesini. Kamu sakit? Ha? Ko gak bilang-bilang sih.. kau tak merasakan darah
ini keluar dari hidung mu??” omel ku pada Bara sambil mengusap perlahan cairan
merah itu. Dia pun terkejut melihat tissue yang ku usapkan pada hidungnya
berlumuran darah.
“Mau
aku ganti menyetir?” tanya ku lagi. “Ngga usah, aku tak merasakan sakit apa-apa
ko sayang. Aku baik-baik saja.” Sambungnya. Huuuh... aku pun menghela napas.
Akhirnya sampai juga di rumah ku. “Aku langsung pulang ya? Maaf ga bisa
nganterin kamu sampai ke dalam.” ujarnya. “Iya gak papa, kamu beneran baik-baik
aja sayang? Aku khawatir..” ucapku. “Iya, aku gak papa. Daaah” pamitnya.
Malam
pun semakin larut, rasanya hati terasa resah dan kalut. Entah apa yang
membuatku takut. Ku paksa
pejamkan mataku tapi rasanya rasa kantukku tak
kunjung datang. Hingga ku telfon Bara, dan baru lah ku bisa tertidur dan
meninggalkan obrolan kita yang entah sampai mana tadi malam.
Pagi-pagi
dia telfon katanya dia hari ini tak bisa masuk sekaligus tak bisa antar jemput
diriku, dia bilang dia masuk angin dan muntah-muntah terus ujarnya. Aku pun
sedih sekaligus sangat khawatir, tapi aku katakan aku tak bisa menengoknya hari
ini karena jam kuliah hari ini full, belum lagi harus mengerjakan proposal yang
sudah tertunda dua hari yang lalu dan harus sudah jadi besok. Dan Bara pun bisa memakluminya.
***
Ke
esokan harinya...
“Pagi
sayang” sapanya pagi ini seraya cipika-cipiki. Seperti biasa dia menjemput ku
untuk berangkat kuliah bersama. “Pagi juga” balas ku dengan tersenyum mesra.
“Gimana, keadaan kamu udh baikan nih sekarang?” tanyaku lanjut. “Udah dong,
cuma masuk angin doang.” Ujarnya meremehkan.
Pagi
ini sang mentari meredupkan sedikit cahayanya. Hanya tinggal menunggu hitungan
jam pasti kota Bogor ini akan di serbu
oleh ribuan rintik hujan yang turun menciumi bumi dan bercumbu hingga akhirnya
meresap kedalam lapisan-lapisan tanah.
Seperti
biasa, duduk berdua di taman kampus dengan memakan cemilan kentang goreng dan
minuman yang sebelumnya kami beli di cafetaria kampus. Kami duduk di bawah
pohon yang rindang, sepoi angin menerbangkan rambutku yang tergerai kesana
kemari. Begitu rindang dan pemandangan sekitar yang hijau sehingga menyejukkan
pandangan mata. Rasanya nyaman sekali..
“Nay..”
panggilnya. “Iya, ada apa?” sahut ku. “Besok aku harus take off ke Singapore.” Ucapnya.
“Hah? Mau ngapain sih yank?” tanya ku kaget. “Aku di minta Papah buat control
perusahaan cabang yang ada disana. Soalnya om Ranu yang biasa bertugas
mengontrol perusahaan itu mengambil cuti yang cukup lama. Aku disana cuma dua
bulan ko, sayang. Gak lama..” jelasnya. “Kamu bilang gak lama?” tanya ku kesal.
“Iya daripada dua tahun, hayoo???” godanya. “Aah ga lucu Bara. Lagian kamu kan
belum sembuh benar sayang.. Lihat saja, wajah mu masih pucat !” Jawab ku jutek.
“Tenang aku baik-baik saja.. Nanti aku bawakan oleh-oleh deh. Kamu mau
oleh-oleh apa? Ayo katakan?” rayunya.
Aah
tiba-tiba semilir angin berubah menjadi semilir yang gersang. Suaranya pun terdengar mendayu-dayu sendu. Bagaimana
ini, sebelumnya aku tak pernah berjauhan
sampai kota, selat atau pulau sekalipun tak ada yang mampu memisahkan kita.
Tapi ini? Dalam negara yang berbeda... Hoooh.. 2 bulan, 4 minggu, 60 hari, 1440
jam, 86400 menit, 5184000 detik. Selama sebanyak hitungan itu aku tak bisa lagi
melihat wajahnya, menikmati tatapannya yang begitu meneduhkan, dan... haaah
sudahlah.
***
Hari
ini pukul 10.00 WIB aku mengantarnya ke bandara, melepasnya dengan sebuah
pelukan. “Baiklah, akan ku tunggu. Tapi kamu harus janji, 2 bulan lagi kamu
harus udah ada disini lagi. Daah jaga kesehatan ya sayang” ucapku seraya
melambaikan tangan. Dia hanya membalas dengan anggukan kepala dan tersenyum. Langkah
kakinya kini terdengar semakin menjauh pergi, hingga menghilang tak terdengar
lagi tertelan hiruk pikuk keramaian bandara.
Menghitung
hari detik demi detik.. hahaha rasanya sudah seperti lirik lagu saja. Hampa yang
aku rasakan, seperti hidup tanpa udara. Rasanya seperti terkurung dalam ruang
3x3m, tanpa pintu, jendela bahkan ventilasi, apalagi AC, jangan berharap. Tyas
selalu menghiburku, tapi tetap saja, terasa ada yang kurang.
***
Hari
ini libur kuliah selama satu minggu ke depan. Tak ada kegiatan yang
mengasyikan. Tiba-tiba telefon ku berbunyi. Kuharap dari Bara, tapi saat
kulihat ternyata dari Tyas. “Hallo Yas.. ada apa?” jawab ku setengah malas.
“Siap-siap sekarang ya ! Aku akan menjemput mu sesaat lagi. Kita ke rumahnya
Bara. Oke? Pokoknya setengah jam lagi aku sampai di rumah mu.” Tut..tut..tut..
belum sempat aku mengekspresikan rasa terkejut, tak percaya, sekaligus bahagia
ku ungkapkan pada Tyas, dia sudah menutup telfonnya lebih dulu. “Haaa!! Senang
sekali rasanya, padahal baru 6 minggu di Singapore ko udah balik lagi ya? Mungkin
karena rasa rindunya pada ku yang sudah menjamur pada hatinya. Tapi kenapa dia
tak memberitahuku langsung??? Haah jahatnya kamu Bara.” Gumam ku dalam hati.
25
menit kemudian Tyas pun sampai di rumahku.
Dan ku suruh Tyas langsung tancap gas menuju rumah Bara, aku sudah tak
sabar ingin memeluknya dan menagih oleh-oleh yang akan di berikannya pada ku.
Asal kalian tau, rindu ini rasanya sudah merayapi hingga relung hati ku. Selama
perjalanan menuju rumah Bara, ku tanyakan ini itu pada Tyas, dia hanya
menjawab. “Aku tak tau, aku hanya ditelfon Bara dan menyuruhku menjemputmu dan
mengantarkan mu kerumahnya.” Aneh juga fikirku.
Akhirnya
sebentar lagi sampai juga di rumah Bara. Tapi.... tunggu dulu-tunggu dulu.
Pasti ini ada yang tak beres. “Yas...” suara ku bergetar. “Itu... kenapa itu
ada bendera kuning di depan rumah Bara, Yas? Siapa yang meninggal Yas? Siapa?
Bukan Bara kan Yas?? Bukan Bara kan???!” cecar pertanyaan ku pada Tyas. Kalut
hati ini benar-benar kalut. Mengapa ada bendara kuning yang terus
melambai-lambai di pagar rumah Bara. Siapa yang sebenarnya meninggal? Hati ku
terus berdoa semoga bukan mimpi buruk yang ku dapat hari ini. Tyas juga tetap
membisu. Rasa penasaran dan takut semakin mencengkeram jantung ku. “Tyas ! coba
kau katakan sesuatu? Jangan diam seperti ini !!” pekik ku.
Tyas
membukakan pintu mobil ku dan berjalan memapahku. Aku takut, sangat takut. Aku
tak mau melihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam. Tapi aku harus masuk ke
rumah itu, karena aku ingin bertemu dengan Bara Gionahankam, karena aku rindu
setengah mati padanya saat ini.
Pemandangan
yang sama sekali tak ku inginkan, ketika ku menapaki pintu rumah Bara.
Yaa,
aku bertemu Bara.. aku melihatnya... dan aku pun langsung memelukanya... tapi, kenapa
sikapnya berubah menjadi dingin, kenapa aku tak mampu melihat tatapan matanya
yang hangat lagi, kenapa aku tak bisa mendengar lagi rayuannya yang membius
kalbu, kenapa Bara hanya diam dan terbujur kaku.
Lutut
ku lemas, kaki tak mampu lagi menopang tubuhku, pandangan ku terhalang oleh
bendungan air di kelopak mata ku. Aku pun terkulai tak sadarkan diri dalam
peluknya, pelukanya yang sangat dingin, yang tak hangat lagi.
Ketika
ku tersadar, aku harap itu tadi hanya mimpi. Mimpi buruk ku !. Tapi tidak,
ternyata saat ini aku berada di dalam kamar Bara. Aku menatap sekelilingku.
Mana Bara, tak ku temukan sosoknya di kamar ini. Entah mengapa hati ini sakit
sekali rasanya. Hujan di area mataku pun mulai deras lagi. Dan sulit, sangat
sulit untuk reda. ku langkahkan kaki ini keluar kamar Bara. Aku masih
merindukannya. Langkah ku dipapah oleh Tyas yang setia mendampingiku.
“Bara...
Sayang bangun. Bara... kamu jahat.
Katanya cuma 2 bulan, tapi kenapa pergi buat slama-lamanya. Kamu jahat Bara....”
ku panggil namanya dengan lirih namun tak ada sahutan darinya hingga tangisan
ku pun menjadi-jadi. Orang-orang di sekelilingku pun mencoba menenangkan ku.
Hingga aku pun tak sadarkan diri lagi.
Ketika
ku sadar, mbak Metta memberikan ku kotak kecil berwarna perak. Ketika ku buka
ternyata sepasang cincin indah yang didalam lingkarya bertuliskan namaku dan
nama Bara. “ku temukan itu dalam laci kamarnya Bara, Nay. Mungkin dia berniat
memberikannya padamu dalam waktu dekat ini” ungkap mbak Metta. Miris, rasanya
hati ini terasa teriris.
***
5
hari setelah kepergian Bara, aku hanya diam dan menjamu lamunan ku tentang
hayal akan Bara. Ku pandangi dan ku pandangi lagi kotak kecil berwarna perak
ini. Sehari setelah kepergian Bara, Tyas mengatakan kepada ku, bahwa
kepergiannya saat itu ke Singapore sebenarnya untuk mengobati penyakitnya
disana. Tyas bilang, Bara sebenarnya terkena Leukimia. Penyakit kanker darah
yang ganas, yang berhasil mematikan kekasih ku. Bara sengaja tak memberitahuku
agar aku tak terlalu khawatir padanya. Aku memang tak khawatir, tapi mungkin
saat ini aku sudah terkena serangan jantung karena mendadak melihat Bara
tiba-tiba terbujur kaku dan membisu di hadapanku. Tapi untung saja jantungku
tak selemah itu, jika jantungku bermasalah, mungkin aku juga akan ikut menyusul
Bara ke tempat abadi di sana.
Tunggu
aku di sana Bara Gionahankam....